Tag: Cahaya

  • Apakah Cahaya Memiliki Massa? Mengingat Cahaya Memiliki Momentum dan Tidak Bisa Keluar dari Black Hole

    Apakah Cahaya Memiliki Massa? Mengingat Cahaya Memiliki Momentum dan Tidak Bisa Keluar dari Black Hole

    Secara teknis cahaya tidak memiliki massa. Namun hal lain ditunjukkan melalui fenomena efek fotolistrik dimana elektron terluar dari atom logam dianalogi ketika “bertumbukan” oleh foton-foton cahaya.

    Dualisme Cahaya

    Pada era fisika klasik, era dimana Hukum Newton dan Hukum Maxwell dianggap sudah paripurna menjelaskan semua fenomena fisika yang ada, cahaya (gelombang) dan materi dianggap sebagai entitas yang saling bertolak belakang. Materi dianggap sebagai entintas yang sifatnya disktrit dan memiliki massa sedangkan gelombang memiliki sifat kontinu dan tidak memiliki massa.

    Tidak ada satupun entitas yang memiliki kedua sifat tersebut secara bersamaan yakni Gelombang dan Materi. Cahaya sendiri sudah sejak lama diamati sebagai gelombang, kecuali Newton yang menganggap cahaya sebagai Partikel namun pandangan tersebut tidak mewakilkan cahaya sebagai partikel seperti yang dikenal saat ini. Dengan kata lain, Newton keliru dengan pandangan sebagai partikel.

    Cahaya sebagai gelombang dianggap Paripurna, paling tidak pandangan dari fisika klasik. Pandangan ini mulai berubah ketika Max Plank memperkenalkan teori kuanta. Plank menjelaskan bahwa radiasi gelombang tidak pancarkan secara kontinu melainkan dalam bentuk paket-paket energi dalam jumlah kecil. Paket energi ini selanjutnya disebut sebagai kuanta.

    Setiap jenis radiasi memiliki jenis paket energi yang berbeda, misalnya Boson dan Fermion. Cahaya sendiri memiliki paket energi yang disebut sebagai Foton. Dengan demikian pandangan bahwa Cahaya hanya bersifat kontinu sudah gugur khususnya untuk ukuran elementer yang lebih dikenal sebagai ukuran kuantum.

    Efek Fotolistrik

    Foton pertama kali dideskripsikan sebagai sifat cahaya sebagai partikel oelh Albert Einstein melalui percobaan Efek Fotolistrik. Percobaan ini diawali oleh Kirchoff lalu disempurnkan oleh Einstein. Hasilnya menunjukkan bahwa Elektron terluar dari Logam yang diterpa cahaya pda frekuensi tertentu akan terlepas dari permukaan logam secara spontan. Fenomena dianalogikan sebagai proses tumbukan dimana elektron akan langsung terlepas begitu diterpa seperti bola billiar yang langsung terhempas begitu ditabrak bola lainnya.

    Mengapa gelombang elektromagnetik tidak lagi kontinyu?

    Frekuensi radiasi ini unik bergantung dari jenis logam yang diterpa dan dikenal sebagai frekuensi kerja. Jika cahaya bersifat kontinyu, harusnya elektron akan terlepas jika logam disinari oleh radiasi GEM berapun frekuensi-nya. Jika energi dari frekuensi GEM kurang maka akan tersimpan dan suatu saat akan terlepas namun kenyataan tidak. Jika frekuensi yang diberikan lebih rendah dari frekuensi kerja, elektron tidak akan pernah terlepas dari permukaan loga.

    Hasil ini dijelaskan sebagai momentum foton yang nilanya adalah :

    P = hf

    Dengan demikian meskipun cahaya memiliki momentum, energi tubukan cahaya tidak berasal dari massa. Sifat alami dari cahaya sebagai GEM membuatnya tidak memiliki massa. Moentum ini hanya didapatkan ketika cahaya bergerak sehingga disebut juga sebagai massa bergerak, kendati demikian ini bukanlah massa yang sama dengan materi.

    Defenisi dari Dualisme Cahaya ini hanya karakteristik cahaya yang berperilaku sebagai Materi dan Gelombang. Bukan benar-benar cahaya adalah Partikel dan memiliki momentum sebagai Hukum Newton tentang gerak menjelaskan momentum.

    Gravitasi Umum

    Jika tidak punya massa? mengapa Cahaya tidak bisa keluar dari lubang hitam? Apakah karena lubang hitam memiliki kekuatan gravitasi yang sangat kuat? Jika cahaya tidak memiliki massa, lantas mengapa cahaya dapat ditarik oleh Lubang hitam?

    Cahaya tidak pernah tertarik ke lubang hitam. Sebagai gelombang, cahaya bergerak lurus berdasarkan raung yang ia lalui. Cahaya tidak benar-benar ditarik gravitasi.

    Fenomena disebut kelengkungan ruang karena gravitasi. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Albert Einstein lagi dimana Gravitasi membentuk ruang (Spase) dan dibuktikan oleh Arthur Eddington melalui pengamatan Gerhana Matahari di Principe, Afrika. Hasl pengamatan menunjukkan bahwa posisi bintang berubah karena foto-foto letak bintang berpindah dari satu foto dengan foto gravitasi sebelumnya.

    Ada kesimpulan yang dihasilkan yakni

    1. Alam semesta ini berkembang, sehingga teori steady stay Newton runtuh.
    2. Einstein benar jika Gravitasi mempengaruhi ruang disekitarnya.
    Ilustrasi Perubahan Ruang karena pengaruh Gravitasi

    Gambar tersebut menunjukkan ilustrasi bintang yang posisinya harusnya tidak bisa diamati pada peristiwa gerhana matahari di Principe, namun kenyatannya bisa diamati. Hasil ini mengantar pada kesimpulan bahwa lintasan cahaya ini berubah karena ruang di sekitar matahari berubah akibat gravitasi matahari itu sendiri. Fenomena ini disebut kelengkungan ruang, namun tidak sesederhana besi lurus yang dilengkungkan.

    Jadi tidak mesti Black Hole.

    Black Hole adalah lubang hitam tidaklah benar-benar hitam tapi bintang raksasa yang mati dan memiliki gaya gravitasi yang sangat besar. Semakin besar gravitasi maka semakin besar pula kelengkungannya yang dihasilkan. Semakin besar kelengkungan samakin jauh cahaya menyimpan dari lintasan yang harusnya dilalui, relatif terhadap pengamat.

    Lubang hitam memiliki gravitasi yang sangat kuat atau kita sebut saja maha kuat. Kekuatannya gravitasi membuat kelengkuangan ruang yang sangat besar disekitarnya. Hal ini membuat lintasan cahaya berubah sangat jauh. Jika gravitasi cukup kuat untuk membuat singularitas ruang dan waktu, maka cahaya akan terlihat terperangkap di daerah lubang hitam. Namun, cahaya tidak benar-benar tertarik seperti gravitasi bumi menarik apel Newton.

  • Materi Optik Geometri

    Materi Optik Geometri

    Berikut ini adalah daftar materi Optik Geometri dimana cahaya dipandangan sebagai berkas yang bergerak membentuk garis lurus.

    A. Pengantar Optik Geomteri

    1. Sistem Optik
    2. Kecepatan Cahaya
    3. Propagasi Gelombang Elektromagnetik
    4. Cahaya Monokromatik
    5. Cahaya Polikromatik

    B. Pemantulan Cahaya

    1. Pemantulan Cahaya Pada Cermin Datar
    2. Pembentukan Bayangan Pada Cermin Lengkung

    C. Pembiasan Cahaya

    1. Hukum Pembiasan Cahaya
    2. Sudut Kritis pada dua bidang berbeda
    3. Pembiasan Pada Lensa Tipis
    4. Pembiasan Pada Lensa
    1. Persamaan Pembentuk Bayangan
    2. Pembiasan Pada Lensa Gabungan
    3. Dispersi Cahaya Pada Prisma
    4. Aberasi dan Akromatik pada Lensa

    D. Alat-Alat Optik

    1. Teropong Bintang
    2. Teropong Bumi
    3. Teropong Refraktor
    4. Lensa Mata
    5. Kacamata
    1. Mikroskop
    2. Lensa Kamera
    3. Proyektor
    4. Periskop
    5. Serat Optik
  • Aberasi Lensa dan Lensa Akromatik

    Aberasi Lensa dan Lensa Akromatik

    AhmadDahlan.NET – Lensa memiliki karakteristik mengumpulkan cahaya dari titik-titik pada objek kemudian difokuska pada titik konjugat sampai akhirnya menghasilkan bayangan yang dapat ditangkap oleh layar. Jika diarakah ke Retina, maka bayangan terbentuk di mata.

    Pada lensa-lensa dengan ketebalalan yang tidak dapat diabaikan maka pembiasan yang terjadi di dalam lensa akan mempengaruhi proses pembentukan bayangan. Jalur pembentukan cahaya tidak presisi seperti pada lensa tipis sehingga bayangan terbentuk sulit tepat jatuh pada satu titik fokus. Dampaknya bayangan terbentuk jadi buram. Hal ini disebut sebagai Aberasi Lensa.

    A. Lensa Aberasi

    Mari tinjau bentuk lensa paling umum yakni lensa berbentuk potongan bola atau spherical lens. Lensa jenis ini akan menghasilkan aberasi dengan karakteristik spherical. Penyebabnya adalah pembiasan yang terjadi di dalam lensa.

    Ilustrasi Penyebab Lens Aberasi

    Konsep pembentukan cahaya tepat jatuh tepat di titik fokus pada lensa cembung yang terjadi pada lensa tipis yang pada dasarnya hampir tidka mungkin dilakukan. Sekalipun lensa tersebut didesain sangat tipis tetap saja ada pembiasan yang terjadi di dalam lensa hanya saja mata manusia memiliki keterbatasan melihat detail pada beberapa pembiasan pada lensa tipis sehingga berasi tidak terlihat. Namun pada lensa yang cukup tebal maka aberasi tersebut dapat dilihat.

    Lensa Aberasi pada lensa cembung

    Pembiasan pada lensa tipis harusnya terjadi seperti pada garis putus-putus yang tepat jatuh pada titik f di 1/2 R, namun jika pembiasan tidak diabaikan maka titik jatuhnya akan lebih dekat dari titik fokus. Semakin dekat dengan sumbu utama maka titik jatuhnya akan semakin dekat dengan f. Hanya ada satu sinar yang bisa melalui titik fokus yakni sejajar dengan sumbu utama, karena sinar ini tidak dibiaskan.

    Semakin tipis titik-titik jatuh ini maka semakin fokus gambar yang dihasilkan. Efek lensa aberasi dapat dilihat di foto berikut ini :

    Foto makro bunga Putih dengan lensa Aberasi

    B. Lensa Akromatik

    Pada penjelasan mengenai konsep aberasi lensa, cahaya yang digunakan adalah cahaya monocromatik. Lantas bagaimana jika pembiasan yang terjadi pada lensa berasal dari cahaya polikormatik?

    Hal yang menjadi catatan pada cahaya Polikromatik adalah panjang gelombang (λ) dari setiap-setiap penyusun cahaya kromatik tersebut. Proses akromatik terjadi seperti berikut :

    Gangguna Fungsi Lensa Akromatik

    Pada saat cahaya putih (polikromatik) memeasuki bidang lensa yang memiliki ketebalan berbeda, pembiasan di dalam lensa mengurai cahaya polikromatik ini. Semakin tebal perbedaan ketebalanya semakin lebar proses pemisahan cahayanya. Hasilnya cahaya yang terurai akan jatuh tidak pada daerah berbentuk titik melainkan pada pada area tertentu. Area ini membuat bayangan yang dihasilkan menjadi kabur.

    Masalah akromatik adalah masalah umum yang didapatkan pada saat menyusun instrumen-istrumen optik. Dampapk paling terasa pada penggunaan instrumen optik sebagai alat bantu pengamatan benda-benda kecil. Jika informasi yang dibutuhkan detail maka akan menghasilkan bias data.

    Upaya mengamati akromatik ini dilakukan dengan penambahan lensa akromatik di belakang lensa. Biasanya digunakan lensa dengan f yang terbalik namun nilainya lebih kecil agar cahaya bisa kembali dipusatkan dalam bentuk tutuk.

    Lensa Akromatik pencegah aberasi lensa

    Semakin banyak optik yang digunakan dalam sebuah sistem maka semakin banyak pulan lensa akromatik yang dibutuhkan. Lensa-lensa akromatik ini juga berpengaruh pada perhitungan kekuatan lensa dalam memperbesar dan mendekatkan bayangan yang terbentuk.

  • Pembiasan Pada Lensa Tipis dan Analisis Rumus Pembentukan Bayangan

    Pembiasan Pada Lensa Tipis dan Analisis Rumus Pembentukan Bayangan

    AhmadDahlan.NET – Pembiasan pada lensa tipis adalah bidang kajian optik geometri yang membahas mengenaik jalur sinar yang melewati sebuah lensa dengan ketebalan yang dapat diabaikan. Jalur sinar ini dijadikan acuan untuk memprediksikan pembentukan bayangan yang disebabkan oleh pembiasan lensa tipis.

    Tujuan Pembelajaran

    1. Memahami konsep lensa tipis
    2. Mendeskripsikan Karakteristik Pembiasan Cahaya Pada Lensa Tipis
    3. Menformulasikan persamaan Pembentukan Bayangan Pada Lensa Tipis

    Kata Kunci

    Focal Point : Titik Fokus yang merupakan titik acuan dalam pembaisan pada lensa. Jarak titik fokus ini adalah 1/2 dari jari-jari kelengkungan lensa.

    Lensa Tipis : Lensa tipis adalah lensa yang ketebalannnya dapat sangat tipis sehingga pembiasan dan lensa aberasi di dalam lensa dapat diabaikan

    A. Lensa Tipis

    Lensa adalah alat optik yang memiliki peran penting dalam perkembangan sains dan perlatan manusia. Perkembangan penggunaan lensa sebagai alat bantu manusia dilakukan sekitar abad 16 dan abad 17, meskipun pada Kacamata sudah dikenakan oleh manusia pada abad 3.

    Saat ini lensa ditemukan dibanyak instrumen dan alat bantu manusia seperti teropong, microskop, lensa kamera, proyektor, lup, perlatan kedokteran dan lain sebagainya. Prinsip utama yang digunakan dari alat-alat tersebut adalah kemampuan membuat objek terlihat lebih besar dan objek yang jauh lebih dekat. Prinsip ini bisa ditemukan dengan menggunakan lensa lengkung. Lensa lengkung adalah lensa yang memiliki salah satau atau dua sisinya melengkung.

    Jenis Jenis lensa Cembung dan Cekung

    Pada saat cahaya menerpa bidang batas lensa dan udara maka akan terjadi pembiasaan. Pembiasan pada lensa lengkung baik itu cekung dan cembung berlaku hukum Snellius tentang pembiasan yakni :

    ni sin θi = nr sin θr

    Proses pembiasannya bisa dilukiskan pada ilustrasi berikut ini !

    Proses Pembiasan pada lensa datar dan lensa cembung
    Ilustrasi Pembiasan Pada Kaca Datar dan Lensa

    Jika cahaya keluar dari lensa maka akan terjadi pembiasan lagi. Pembiasaan akhir dari proses ini dipengaruhi oleh ketebalan lensa.

    Dalam upaya memahami prinsip kerja dari lensa maka disusun lensa dengan ketebalan sangat kecil. Halini berdampak pada pembiasaan cahaya di dalam lensa dapat diabaikan sehingga pembiasaan yang diamati hanya pada pembiasan pertama. Jika dihubungkan pada gambar di atas maka kita hanya fokus pada θi dan θr saja, sedangkan θ’i dan θ’r diabaikan saja karena nilai terlalu kecil.

    Lensa Lengkung

    Lensa lengkung memiliki bentuk yang analog dengan cermin lengkung yakni memiliki kelengkungan yang bentuknya bulat sempurna namun dipotong. Karakteristik dari lensa lengkung ini ditentukan oleh jari-jari kelengkungan dan ketebalan lensa, karakteristik ini disebut titik fokus focal point. Tidak seperti cermin, titik fokus (f) pada lensa tidaklah 1/2 jari-jarinya namun pada pembahasan lensa tipis, karena arah pembiasan di dalam lensa dapat diabaikan maka

    f=\frac{1}{2}R

    Nilai f ini memiliki kebalikan dari cermin dimana lensa cekung memiliki f negatif dan lensa cembung memiliki f positif.

    B. Sinar-Sinar Istimewa Pada Lensa Tipis

    Pembahasan utama pada lensa tipis adalah proses pembentukan bayangan yang terjadi setelah cahaya melalui lensa tersebut. Agar memudahkan pemodelan pembentukan bayangan dilakukan dengan bantuan sinar-sinar istimewa yakni :

    1. Sinar datang yang sejajar dengan sumbu utama
    2. Sinar datang yang berasal dari titik fokus
    3. Sinar datang menuju pusat lensa

    1. Lensa Cembung

    Lensa cembung adalah lensa yang jari-jari kelengkungan berada di belakang arah datang cahaya. Proses pembentukan Bayangan terjadi melalui 3 sinar istimewa yakni

    1. Sinar datang yang sejajar dengan sumbu utama dibiaskan menunju titik fokus
    2. Sinar datang yang berasal dari titik f dibiaskan sejajar dengan sumbu utama
    3. Sinar datang menuju pusat lensa tidak dibiakan.

    Ilustrasinya seperti pada gambar berikut :

    Sinar Sinar Istimewa Pada Lensa Cembung

    Bayangan dapat terbentuk pada titik di mana tigas garis ini berpotongan, namun untuk melukiskan bayangan biiasanya kita hanya butuh dua sinar istimewa saja.

    Persamaan Lensa Cembung

    Untuk mendapatkan persamaan pada lensa cembung kita sederhana gambar diatas dengan dua buah sinar :

    Cara Membuktikan Rumus dan Persamaan Pada Lensa Cekung

    Perhatikan gambar di atas, kita memiliki dua perbandingan segitiga yang bisa digunakan untuk menghitung persamaan pada lensa cembung. Segitiga yang pertama adalah AfB sebangun dengan ifi’. sehingga

    \frac{h_o}{f}=\frac{h_i}{s_i-f}

    atau

    \frac{h_i}{h_o}=\frac{s_i-f}{f}

    Selanjutnya adalah adalah segitiga Ai’D sebangun dengan O’AO, dengan demikian

    \frac{h_i}{h_o}=\frac{s_i}{s_o}

    Masukkan persamaan awal ke persamaan ini,

    \frac{s_i-f}{f}=\frac{s_i}{s_o}
    \frac{s_i}{f}-1=\frac{s_i}{s_o}

    atau

    \frac{s_i}{f}=\frac{s_i}{s_o}+1

    bagi kedua ruas dengan si, maka

    \frac{1}{f}=\frac{1}{s_o}+\frac{1}{s_i}

    dimana

    f : titik fokus (m)
    so : jarak objek ke lensa
    si : jarak bayangan ke lensa

    2. Lensa Cekung

    Lensa cekung adalah lensa yang kelengkungan mengarah berlawan arah dengan arah datang cahaya. Jari-jarinya bernilai bernilai negatif dengan tiga buah sinar istimewa yakni

    1. Sinar datang yang sejajar dengan sumbu utama dibisakan seolah-olah berasal dari titik fokus
    2. Sinar datang mengarah ke titik fokus semu di belakang lensa dibiaskan sejajar dengan sumbu utama
    3. Sinar datang yang menuju titik pusat akan diteruskan tanpa dibiaskan.

    Ilustrasi sinar-sinar istimewa sebagai berikut :

    Sinar sinar istimewa pada lensa cekung

    Proses pembentukan bayangan bisa dilakukan dengan perpotongan minimal dua sinar istimewa.

    Persamaan Lensa Cekung

    Proses penurunan formulasi persamaan lensa cekung bisa dilakukan dengan bantuan pembentukan bayangan berikut :

    Proses Penurunan Rumus Lensa Cekung dengan Segitiga Geometri

    Proses analisis persamaan dapat dilakukan dengan 2 perbadingan segitiga sebangun. Mulai dari segitiga CfO sebangun dengan DfE, dengan demikian

    \frac{h_i}{f-s_i}=\frac{h_o}{f}

    atau

    \frac{h_i}{h_o}=\frac{f-s_i}{f}

    kemdua perbandingan segitiga DOE sebangun dengan BOA.

    \frac{h_i}{h_o}=\frac{s_i}{s_o}

    Persamaan ini juga bias adisebut sebagai rumus perbesaran bayangan baik di lensa cekung dan cembung. Selanjutnya adalah memasukkan persamaan ini ke persamaan di atas :

    \frac{s_i}{s_o}=\frac{f-s_i}{f}
    \frac{s_i}{s_o}=1-\frac{s_i}{f}

    maka

    -\frac{s_i}{f} =\frac{s_i}{s_o}-1

    masing-masing dibagi dengan si, maka hasilnya

    -\frac{1}{f} =\frac{1}{s_o}-\frac{1}{s_i}

    Perhatikan persamaan ini memiliki f dan si yang bernilai negatif. Hal ini menunjukkan jika jara tersebut berlawanan arah dengan sinar datang di sifatnta f negatif adalah divergen, sedangkan pada lensa cekung yang nila f positif disebut konvergen.

    Soal Latihan :

    1. Sebuah objek terletak 1 meter di depan sebauh lensa dengan panjang fokus sebesar 50 mm. Jika tinggi daun adalah 7,6 cm maka
      1. dimanakah layar harus diletakkan agar bayangan daun dapat tertangkap oleh layar?
      2. berpakah tinggi bayangan yang tertebntuk?
    2. Dua buah lensa konvergen diletakkan terpisah sejauh 80 cm satau sama lain. Kedua lensa tersebut memiliki fokus f1 = 20 cm dan f2 = 25 cm. Jika sebuah benda diletakkan di depan lensa pertama sejauh 60 cm, tentukan :
      1. Posisi bayangan
      2. Ukuran bayangan yang terbentuk
  • Pengantar Awal Sistem Optik dan Cahaya

    Pengantar Awal Sistem Optik dan Cahaya

    Ahmaddahlan.NET – Sistem Optik adalah instrumen yang bekerja berdasarkan prinsip kerja Cahaya sebagai sinar (Gelombang yang merambat Lurus). Alat Optik sudah diperkenalkan oleh Aristophanes pada tahun 424 SM berupa Kaca Cekung yang digunakan menyatukan cahaya. Jika cahaya ini diarahkan ke tumpukan jerami, maka jerami tersebut akan terbakar. Sejak saat itu titik fokus disebut titik Api, selanjutnya disebut titik fokus (f).

    Konsep Cermin cekung ini kemudian digunakan oleh Aristoteles (212 SM) sebagai senjata militer pada pada saat Syracuse dikepung oleh tentara Marcus Claudius Marcellus melalui jalur kapal. Kapal-kapal mereka dibakar dengan cermin besar yang memantulkan cahaya ke arah kapal yang dikenal dengan nama Burning Glass.

    Ilustrasi Perang Menggunakan Alat Optik cermin Cembung Syracuse

    Ilustrasi Perang Syracuse uang menggunakan Burning Glass sebagai Senjata Militer.

    Alat-alat optik bekerja berdasarkan karakteristik fisis dari gelombang cahaya. Pemahaman mengenai gelombang cahaya tumbuh beriringan dengan pemahaman mengenai alat-alat optik, hanya saja kajian-kajian awal optik selalu dikaitkan dengan sifat cahaya sebagai gelombang elektromagnetik. Setelah Einstein memperkenalkan sifat dualisme cahaya dari percobaan efek fotolistrik, kajian mengenai cahaya dibagi ke dalam tiga topik utama yakni :

    1. Optik Geometri
    2. Optik Fisis (Optik Gelombang)
    3. Optik Kuantum

    A. Cahaya

    Cahaya adalah hal yang sudah sangat familiar dalam kehidupan manusia. Mulai dari cahaya matahari di siang hari, bintang di malam hari dan cahaya lampu hasil dari ilmu pengetahuan manusia. Meskipun begitu dekat, cahaya adalah entitas sangat kompleks dan telah menarik perhatian para ilmuwan berabad-abad lalu.

    1. Spektra Newton

    Newton adalah orang yang pertama mengatakan bahwa cahaya berupa materi fisis yang sangat kecil dan melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Ibarat bola basket yang amat kecil, sifat cahaya sebagai benda digunakan Newton untuk menjelaskan fenomena pemantulan, dan pembiasan cahaya.

    Newton kemudian melubangi sebuah dinding kecil yang ada di kamarnya sehingga berkas cahaya (sinar) bisa masuk ke dalam. Newton mengamati cahaya ini ternyata memiliki lintasan lurus dari sumber. Jika bertemu dengan benda keras maka cahaya tersebut terpantul meskipun tidak sama terangnya cermin dan lintasan pantulnya juga lurus.

    Setelah itu Newton menghalangi cahaya tersebut dengan sebuah prisma dan terjadi fenomena difraksi dimana cahaya yang tadinya berwarna putih diuraikan ke dalam berbagai macam warna yang disebut Spectre (Hantu). Karena pada masa Newton, Opera musik sangat terkenal, Newton kemudian mengkategorikan cahaya yang lihat ke dalam 7 jenis warna sama dengan tangga nada yang juga jumlahnya 7.

    Prisma dan fenomena cahaya sebagai Gelimbang terdifraksi dengan medium padat

    Ketujuh warna tersebut adalah :

    1. Merah
    2. Jingga (orange)
    3. Kuning
    4. Hijau
    5. Biru (Cyan)
    6. Nilai (Indigo)
    7. Ungu
    Panjang Gelombang Cahaya Tampak pada Gelombang Elektromagnetik

    Sejatinya di sana tidak hanya terdapat 7 warna tapi jutaan warna primer yang bisa dibedakan berdasarkan frekuensi monokromatik dari cahaya tersebut akan tetapi pada tersebut penelitian tentang frekuensi dan panjang gelombang cahaya belum ditemukan.

    2. Cahaya Sebagai Gelombang

    Teori Partikel Cahaya Newton ini bertahan hingga satu abad ke depan hingga akhirnya pengamatan mengenai sifat cahaya seperti difraksi, interferensi, dan polarisasi cahaya. Agar semua fenomena ini bisa tercakup maka pengkajian cahaya sebagai gelombang jauh lebih relevan dibandingkan dengan teori partikel cahaya Newton.

    Sejak cahaya dikaji sebagai gelombang maka pengukuran mengenai kecepatan cahaya dan panjang gelombang-pun dimulai. Kajian ini didasari oleh teori gelombang elektromagnetik Maxwell dimana cahaya adalah gelombang yang bisa merambat tanpa ada medium yang membuatnya berbeda dengan gelombang mekanik seperti gelombang suara.

    Persamaan Maxwell berhasil memformulasikan pengukuran kecepatan cahaya dan ditemukan cahaya bergerak dengan kecepatan 3 x 108 m/s pada ruang vakum. Sifat-sifat cahaya sebagai gelombang dapat diamati menggunakan bantuan optik fisis seperti pada percobaan celah tunggal, celah ganda, celah banyak dan sejenisnya

    3. Dualisme Cahaya

    Ketika percobaan mengenai efek fotolistrik yang dilakukan Hertz (1887), Karakteristik baru dari cahaya muncul dan sifat cahaya sebagai gelombang yang kontinyu tidak bisa menjelaskan fenomena tersebut. Efek Fotolistrik menjelaskan tentang logam yang mengemisikan elektron ketika diterpa berkas cahaya. Hanya saja setiap logam memiliki frekuensi kerja (Fungsi Kerja) agar bisa melepaskan elektron.

    Jika sebuah logam terkena sinar dengan frekuensi yang sama dengan fungsi kerja logam tersebut maka elektron akan secara spontan terlepas dari kulit logam tanpa waktu delay meskipun intensitas cahayanya kecil. Jika frekuensi diturunkan maka tidak peduli seberapa lama logam tersebut diterpa berkas cahaya, Elektron tidak akan terlepas dari permukaan logam.

    Hertz (1887) melakukan percobaan fotolistrik dengan menembakkan sinar berwarna biru ke permukaan logam cesium. Elektron dari permukaan logam langsung terlepas dan menghasilkan arus listrik. Elektron ini selanjutnya disebut sebagai fotoelektron.

    Berdasarkan pandangan gelombang elektromagnetik di fisika klasik,efek fotolistrik terjadi karena transfer energi dari cahaya yang mengenai elektron yang ada di dalam atom cesium. Dari perspektif ini terdapat dua dugaan mengenai fenomena tersebut yakni :

    1. Intensitas cahaya adalah faktor yang berpengaruh terhadap lepasnya elektron dari permukaan logam atau tidak.
    2. Semakin besar intensitas cahaya yang menerpa permukaan logam maka semakin besar emisi fotoelektron

    Hanya saja dugaan ini berbanding terbalik dengan beberapa fenomena yang terjadi di percobaan fotoelektron yakni :

    1. Fotolistrik tetap terjadi pada saat logam diterpa cahaya biru meskipun intensitas cahaya yang diberikan kecil.
    2. Logam tidak akan memancarkan fotoelektron sedikitpun pada saat diterpa dengan cahaya merah seberapapun besar intensitas cahaya yang diberikan.
    3. Kecepatan elektron yang lepas ternyata bergantung pada frekuensi cahaya yang menerpa permukaan logam

    Tiga hal ini mengindikasikan bahwa cahaya sebagai gelombang kontinu gagal karena jika demikian maka lama penyinaran akan membuat energi terakumulasi di permukaan logam dan seharusnya elektron akan terlepas meskipun frekuensi lebih rendah dari fungsi gelombang.

    Dualisme Cahaya

    Tahun 1905, Einstein kemudian menjelaskan fenomena efek fotolistrik dengan menggunakan konsep foton. Einstein beranggapan bahwa cahaya adalah paket-paket energi yang disebut foton, setiap foto membawa sejumlah energi tetap yang besarnya bergantung dari frekuensi-nya. Ketika foton menumbuk permukaan logam dan terjadi efek fotolistrik maka energi foton terpisah ke dua bentuk yakni :

    1. Energi untuk melepas elektron dari permukaan logam
    2. Energi kinetik yang dibawa oleh fotoelektron

    Berdasarkan hukum kekekalan energi maka efek fotolistrik dapat diformulasikan sebagai berikut :

    hf = \frac{1}{2}mv^2+w

    dimana :

    h : Konstanta Plank
    f : Frekuensi cahaya
    m : massa elektron
    v : Kecepatan fotoelektron
    w : fungsi kerja logam

    Fungsi kerja logam adalah jumlah energi terkecil yang dibutuhkan logam untuk melepaskan fotoelektron ketiak diterpa sinar. Persamaan ini menunjukkan bahwa kecepatan fotoelektron terlepas dari logam dipengaruhi oleh frekuensi cahaya yang mengenai permukaan logam bukan dari intensitas cahaya yang didapatkan.

    Konsep ini menunjukan bahwa fenomena fotolistrik lebih cocok dijelaskan melalui teori cahaya sebagai foton dan terkonfirmasi berdasarkan hasil percobaan. Dampaknya adalah lahir teori lain dari cahaya selain bersifat sebagai gelombang tapi berlaku juga sebagai partikel. Namun konsep ini jauh berbeda dengan Partikel Cahaya Newton.

    B. Optik Geometri

    Cahaya bisa dikaji melalui tiga aspek optik yakni Optik Geometri, Optik Fisis, dan Optik Quantum. Kita hanya akan membahas Cahaya dari tinjauan Optik Geometri sedangkan Optik fisis dan Optik Quantum akan dibahas secara terpisah.

    1. Optik Geometri

    Optik Geometri adalah kajian cahaya berdasarkan berkas cahaya yang merambat lurus secara homogens untuk semua berkas cahaya. Hukum-hukum cahaya diformulasikan secara geometri. Sistem Optik Geometri sangat baik dalam menjelaskan hukum pembiasan dan pemantulan cahaya seperti fenomena pembiasan cahaya karena bidang lurus dan melengkung, pendakalan kedalaman air, dispersi cahaya, pembengkokan pensil, prediksi posisi ikan di air dan sejenisnya.

    Hukum yang digunakan dalam kajian optik geometri dilandaskan pada hukum Snellius tentang pemantulan dan pembiasan.

    Hukum Pemantulan Snellius

    1. Sinar datang, sinar pantul dan bidang pantul berada pada bidang yang sama
    2. Garis normal adalah garis khayal yang tegak lurus dengan bidang datar
    3. Sudut datang sama dengan sudut pantul diukur dari garis normal.

    Hukum Pembiasaan Snelius

    Hukum Pembiasaan Snellius menyatakan bahwa nisba sinus sudut datang dan sudut pantul pada bidang manapun nilainya konstan. Penisbahan ini dimabil dari perbandingan sudut datang dan sudut bisa sama dengan perbandingan nisbah kecepatan cahaya pada masing-masing medium. Nisbah ini berbanding terbalik dengan nisbah indeks bias.

    Persamaannya :

    \frac{\sin θ_1}{\sin θ_2}=\frac{v_1}{v_2}=\frac{n_2}{n_1}=\frac{λ_1}{λ_2}

    Indeks 1 merujuk pada sinar datang dan 2 pada sinar pantul.

  • Cara Menentukan Kecepatan Cahaya

    Cara Menentukan Kecepatan Cahaya

    Ahmaddahlan.NET – Defenisi sederhana dari kecepatan adalah jarak yang ditempuh oleh sebuah benda atau gelombang dalam satuan waktu tertentu. Persamaan sederhana membuat pengukuran kecepatan (kecepatan rata-rata) benda bisa dengan mudah dilakukan. Caranya cukup menghitung selisih waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu lalu masukkan ke persamaan :

    \bar{v}= \frac{s}{t}

    s adalah jarak dalam meter dan t adalah selang waktu yang diukur dalam satuan sekon.

    Hal ini tidaklah mudah jika kita meminta anak kecil berjalan ke arah tertentu lalu diukur dengan stop watch namun bagaimana dengan cahaya? Mustahil kita bisa menyadari delai yang terjadi saat lampu berpendar dan akhirnya kita melihat cahayanya.

    Gelombang suara yang bergerak dengan kecepatan sekitar 340 m/s di udara masih bisa kita sadari delain antara suara dari sumber sampai akhirnya terdengar. Cukup dengan meminta teman kita berteriak sambil menelfon kita dari kejauhan mungkin sekitar 1000 meter maka kita akan mendengar suaranya lebih dahulu di telefon lalu sekitar 3 detik kemudian mendengar di udara.

    Angka tiga detik ini dari 1000 m : 340 m/s = 2,94 sekon. Yah tentu saja proses ini harus terjadi di tempat yang sangat sunyi agar suaranya bisa terdengar dari jarak tersebut. Tapi bagaimana dengan cahaya yang bergerak dengan kecepatan 3 x 108 m/s. Kalau kita ini ingi mengamati delai satu sekon dari cahaya yang bergerak. Kita harus terpisah sejauh sejauh 300.000.000 meter dari teman yang inisiatif menyalakan sumber cahaya di seberang sana.

    Jarak ini tempuh ini setara dengan 7,5 kali keliling bumi, itupun selisihnya hanya satu detik dan lintasannya harus lurus. Galileo Galilei tercatat pernah mencoba melakukan ini dengan membuka dan menutup Lantern, namun jarak lampu yang hanya beberapa mil tidak menghasilkan apa-apa.

    A. Pengukuran Kecepatan Cahaya Pertama

    Pengukuran kecepatan cahaya pertama kali dilakukan dilakukan oleh Ole Roemer pada tahun 1676. Pengukuran dilakukan berdasarkan pengamatan bulan dari planet Jupiter dengan geometri dari posisi Bumi, Matahari dan Jupiter. Berdasarkan dua hal tersebut terdapat perbedaaan 1000 detik lebih antara gerhana bulan di Jupiter dengan apa yang diamati di bumi. Perbedaan ini selanjutnya dihitung dengan mempertimbangkan jarak Bumi dan Jupiter lalu didapatkan kecepatan 214.000 km/s

    Kecepatan ini masih jauh dari 300.000 km/s, namun paling tidak di zamannya hal ini sudah sangat rasional mengingat perkiraan jarak antara planet pada masa tersebut belum bisa didefenisikan dengan tepat.

    B. Metode Bradley

    Metode pengukuran caha kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan data-data pengamatan sains. Salah satu metode yang digunakan di tahap awal adalah dengan melakukan pengukuran bintang dengan gerakan revolusi bumi.

    Asumsi Bradley sederhana, ketika kita diam maka kita melihat hujan jatuh tegak lurus ke permukaan tanah namun ketika bergerak maka hujab terlihat seolah-olah jatuh ke arah berlawanan dengan gerak kita. Hal serupa juga terjadi dengan Cahaya bintang yang jika diamati diam harunya jatuh tegak lurus dengan permukaan bumi namun karena Bumi Berevolusi maka posisi bintang terlihat bergeser. Karena kecepatan revolusi bumi terhadap matahari sudah diketahui maka kita bisa mengukur kecepatan cahaya bintang seperti asumsi pada gambar di bawah ini :

    Ilustrasi Asumsi pnegukuran kecepatan cahaya berdasarkan penyimpangan posisi bintang

    Berdasarkan sudut yang terbentuk dari perubahan posisi bintang dan kecepatan revolusi bumi, Bradly (1728) berhasil menghitung kecepatan cahaya dengan nilai 301.000 km/s.

    C. Beam Splitter

    Beams Spliiter adalah instrumen yang terbuat dari optik yang memiliki karakteristik memantulkan sebagain cahaya dan sisinya dibiaskan. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh Armand Hippolyte Fizeau dengan membuat perangkat yang terdiri dari Beams Splitter, Roda Gigi dan Cermin yang diletakkan 8 km jaraknya dari Beam Splitter.

    Bagan percobaannya sebagai berikut :

    Bagan Percobaan Fizeau Pengukuran Kecepatan Cahaya

    Roda gigi ini kemudian di atur dengan motor sehingga dapat bergerak dengan kecepatan tertentu. Tujuannya untuk membuat Cahaya yang dipantulkan oleh beam splitter menuju cerminsejuah 8 km tapi cahaya pantulan tidak bisa menembus roda. Hasil perhitungannya yang dipublikasikan pada tahun 1849 menunjukkan jika kecepatan cahaya sekitar 315.000 km/s.

    Satu tahun berikutnya, Léon Foucault memperbaiki eksperimen Fizeau dengan mengganti roda gigi dengan cermin yang bisa berotasi. Bagan percobaan Léon Foucault sebagai berikut :

    Bagan Percobaan Léon Foucault Pengukuran KEcepatan Cahaya

    Hasil pengukuran yang dipublikasi Foucault’s menunjukkan bahwa kecepatan cahaya sekitar 298.000 km/s. Selain itu Foucault juga menambahkan tabung berisi air diantara cermin yang berotasi dan cermin diam. Hasilnya, Foucault menemukan bahwa cahaya bergerak lebih lambat di medium air.

    Penemuan ini bertolak belakang dengan teori Corpuscular yang menyatakan bahwa cahaya adalah partikel kecil (cospuscules) yang bergerak lurus dengan kecepatan terbatas dan memiliki energi kinetik. Percobaan ini mendukung teori cahaya sebagai gelombang.

    Michelson and Morley

    Tahun 1881, Michelson dan Morley membuat sebuah interferometer yang digunakan untuk menemukan kehadiran ether yang dianggap sebagai medium cahaya untuk merambat. Interfermeter ini dikembangkan dengan dari percobaan Foucault dengan tujuan membandingkan gelobang fase gelombang awal dan fase gelombang pantulan yang ditangkap pada sebuah layar.

    Hasilnya penelitian menunjukkan bawah mereka gagal menemukan Ether dan disimpulkan bahwa cahay merambat tampa perantara. Hasil ini memicu dua hal baru dalam fisika yakni pengenalan cahaya sebagai gelombang elektromagnetik dan membantu Eistein dalam membuat teori relativitas dimana Cahaya akan bergerak sama untuk semua kerangka acuan. Percobaan ini pun menghasilkan pengukuran kecepatan cahaya pada 299,853 km/s.

    Penentuan Interfermoeter Michelson Morley Kecepatan Cahaya

    D. Persamaan Kecepatan Cahaya

    Hasil yang ditunjukkan oleh Michelson diterima sampai pada tahun 1926, pengukuran kecepatan cahaya dihitung dengan pendekatan fisika teoretik. Salah satunya adalah menggunakan teknik resonator berongga (cavity resonator). Perangkat ini menghasilkan arus listrik yang hasilnya mendukung teori Maxwell yang menyatakan bahwa cahaya dan listrik adalah fenomena gelombang elektromagnetik dan keduanya sama-sama bergerak dengan kecepatan yang sama.

    Hasilnya pernyataan ini digunakan untuk mengukur c tanpa melibatkan cahaya lagi namun dari membandingkan permeabilitas magnetik dan premeabilitas lisrtrik di ruang hampa. Rosa and Dorsey adalah ilmuwan yang melakukan pertama kali dan menemukan C sebesar 299,788 km/s.

    Tahun 1950, Louis Essen and A.C. Gordon-Smith juga membuat Resonator berongga dengan tujuan mengukur panjang gelombang cahaya dan frekuensnya. ASumsinay adalah kecepatan cahaya adalah total jarak yang ditempuh oleh cahaya (d) dibagi dengan selang waktu :

    c = \frac{d}{\Delta t}

    Misalkan lama waktu satu buah gelombang (λ) terbentuk disebut Periode maka persamaan gerak cahaya tidak lain adalah :

    c = vλ

    dimana v adalah frekuensi.

    Alat tersebut disebut Cavity Resonator Wavemeter. Cavity Resonator Wavemeter mampu menghasilkan arus listrik dengan frekuensi yang dapat diketahui. Panjang gelombang diukur dari diensi yang terbentuk di wavemeter dan berdasarkan persamaan c = vλ didapatkan kecepatan cahaya sebesar 299,792 km/s.

    Peran Teknologi Modern di Pengukuran Kecepatan Cahaya

    Dalam dunia fisika modern, banyak alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil pengukuran mengenai kecepatan cahaya. Salah satu menggunakan laser Monocromatic. Laser ini kemudian digunakan untuk menggantikan cahaya lampu biasa dari percobaan Fizeau and Foucault. Hasilnya tentu saja jauh lebih akurat.

    Selain penggunaan Cahaya, Pola cahaya yang terbentuk baik pantulan dan cahaya asal tidak lagi diamati dengan mata telanjang yang bisa saja banyak menghasilkan kesalahan. Pengamatan dilakukan berdasarkan frekuensi dan bentuk gelombang yang terkeam oleh Osiloskop. Hasilnya menunjukkan kecepatan cahaya di ruang hampa mencapai 300.000 km/s.

    Standar Satuan Panjang

    Penemuan mengenai kecepatan cahaya ini kemudian disepekati oleh ilmuwan untuk merubah defenisi panjang yang pada awalnya adalah jarak 1/10.000.000 meter dari kutub utara ke equator karena hal fakta lain ditemakan bahwa bumi tidaklah bulat sempurna sehingga hal ini tidak lah standar.

    1 Meter kemudian dirubah pad atahun 1983 dengan mengukur emisi gelombang cahaya atom Kryption-86 diruang hampa selama satu detik. Hasilnya 1 meter didefenisikan sebagai jarak yang ditempuah cahaya dalam selang waktu 1/299,792,458 detik dimana 1 detik adalah waktuparuh zat radioaktif atom Cesium-133.

  • Optik Geometri – Hukum Pemantulan Snelius Pada Cermin Datar

    Optik Geometri – Hukum Pemantulan Snelius Pada Cermin Datar

    Ahmad Dahlan – Cahaya merupakan energi dalam bentuk gelombang yang secara sederhana berfungsi sebagai energi yang membuat sesorang dapat melihat sebuah benda. Tanpa keberadan cahaya seseorang tidak mungkin bisa melihat benda, dan kondisi tanpa cahaya ini akan didefenisikan otak manusia sebagai hitam. Oleh sebab itu dalam sains, Hitam bukanlah warna melainkan kondisi tanpa ada emisi energi sama sekali dari sebuah objek.

    A. Model Berkas Cahaya

    Cahaya dalam keadaaan alami akan merambat ke arah lurus. Hal ini bisa diamati pada lampu senter yang mengarah lurus ke dapan atau keras cahaya yang melewati sebuah lubang kecil akan membentuk garis lurus.

    Hasil menjadi landasan logis mengenai model dari gerak sebuah cahaya dan selanjutnya model ini dikenal dengan model berkas cahaya. Meskipun terlihat lurus, namun sejatinya cahaya merupakan gelombang elektromagnetik yang sangat rapat maka sangat sulit untuk melihat lekukan pada berkas cahaya, sehingga Model Berkas Cahaya ini merupakan bentuk idealisasi dari berkas gelombang.

    Model berkas cahaya ini kemudian dijadikan dasar dalam pengembangan konsep-konsep yang berkaitan dengan karakteristik cahaya sebagai gelombang dalam bidang kajian Optik Geomteri.

    B. Pantulan dan Pembentukan Bayangan

    Ketika seberkas cahaya datang menuju sebuah benda yang dapat terlihat, maka berkas cahaya tersebut akan diserap sebagain dan sebagian besarnya akan dipantulkan ke mata sehingga otak dapat medefenisikan benda tersebut. Kecuali pada kondisi tertentu seperti lubang hitam dimana benda tersebut hampis sama sekali tidak mengemisikan energi yang menerpanya.

    Dalam pembahasan Optik Geomtrik kita akan membahasa kejadian umum semata yakni kondisi cahaya menerpa (1) benda yang menyerap sebagian energi dan memantulkan sebagain besar energi cayaha yang menerpa, (2) benda yang memantulkan secara keseluruhan cahaya yang disebut cermin, dan (3) beda yang meneruskan cahaya atau lensa.

    Ketika seberkas cahaya yang datang dari sudut tertentu menerpa permukaan bidang datar maka kondisi ini disebut sebagai sinar datang dengan sudut datang θi. Sudut ini dihitung dari garis normal yang tegak lurus terhadap tepat bidang pantul sinar datang. Sinar ini kemudian dipantulkan dengan sudut pantul θr yang sama besar dengan dengan θi.

    Sinar datang, sinar pantul dan garis normal ini berada pada bidang yang sama dan dikenal sebagai hukum pemantulan Snelius, kendati demikian bukan snelius yang pertama kali mengamati hal ini namun orang-orang Yunani kuno sudah memanfaatkan fenomena pemantulan ini.

    Hukum pemantulan Snellius pada cermin datar

    Hal yang serupa juga terjadi pada permukaan yang kasar. Berkas cahaya akan akan diantulkan pada garis normal tepat pada bidang tipis dimana caha dipantulkan, karena garis normal bidang yang tidak beraturan maka pemnatulan yang dihasilkan adalah pemantulan baur.

    1. Pemantulan Pada Cermin Datar 

    Pada saat anda berkaca di depan sebuah cermin datar yang relatif besar, maka pada jrak yang tepat, anda akan melihat seluruh tubuhmu secara keseluruhan, persis sama dari ujung rambut sampai ujung kaki, kecuali bagian yang ada di kiri kamu akan berada di sisi kanan pada cermin di depan kamu. Hal ini tidak menjadi malasah karena bergantung dari referensi kita memulai kiri dan kanan.

    Bayangan dihasilkan oleh cermin datar bersifat maya, sama besar dan tegal lurus, karen abayanga tidak akan pernah bisa ditangkap meskipun kita meletakkan layar di belakang cermin.

    Bayangan yang terlihat pada cermin datar bukan sebuah berkas cahaya semata, tapi kumpulan berkas cahaya dengan jumlah yang sangat banyak dan membentuk ssuatu bayangan, namun untuk memudahkan analisis dilakukan pemodelan berkas cahaya mulai dari satu ujung ke ujung lainnya. Seperti pada gambar di bawah ini.

    Bekras cahaya pada cermin datar

    Pada gambar di atas terlihat garis-garis yang membentuk bayang sebuah botol dari depan sebuah cermin pada mata seseirang.

    Perhatikan secara seksama sinar pada titik A yang dipnatulkan pada titik B kemudian di teruskan ke mata. Relatif terhadap cermin, maka proses pembentukan bayangan tersebut akan membentuk sabuah budang dimana ABD akan kongruen dengan bidang DBC dimana AD = DC memiliki jarak yang sama besarnya.

    Oleh karena jarak adatar do dan di pada cermian sama besarnya pual dengan demikian pemantulan bayangan pada cermin datar memiliki sifat sama besar.