Ahmad Dahlan God does not play dice with the Cosmos.

Rating Scale vs Skala Interval : Misleading Informasi Dalam Pengukuran Persepsi

2 min read

Skala Liker

Rating Scale

Rating scale seperti Skala Likert menjadi skala yang paling banyak digunakan dalam pengukuran persepsi sekelompok subjek terhadap terhadap objek. Skala ini disusun dalam urutan angka (Ordinal) disertai atribut sebagai penjelas. Contoh penggunaannya sebagai berikut:

  1. Sangat Tidak Setuju
  2. Tidak Setuju
  3. Ragu-Ragu
  4. Setuju
  5. Sangat Setuju

Dalam beberapa kondisi terkadang skala Likert dimodifikasi menjadi 4 urutan saja dengan menghilangkan atribut ragu-ragu. Contoh bentuk urutannya sebagai berikut:

  1. Sangat Tidak Suka
  2. Tidak Suka
  3. Suka
  4. Sangat Suka

Hal ini dilakukan dengan adanya kebiasaan responden di Indonesia yang salah mengartikan kata “ragu-ragu (skala 3)” sebagai sebuah opini bukan sebagai urutan pada skala yang tersedia. Kata ragu-ragu diasosiasikan sebagai bentuk ketidakyakinan antara dua nilai atau lebih.

Misalnya ketika seorang responden tidak yakin dengan opini mereka apakah ada pada level “Suka (skala 4)” atau malah “sangat suka (skala 5)”. Ketidakyakinan membuat gamang yang artinya ragu-ragu memilih. Hasilnya alih-alih memilih “suka” atau “sangat suka” malah menjawab “ragu-ragu”. Padahaln presepsi sebenarnya responden tidak terletak pada skala 3.

Kesalahan dalam memilih akan berdampak pada ketidak bermaknaan data karean dianggap tidak mewakili persepsi sebenarnya dari responden. Jika data ini dijadikan dasar dalam analisi data dan pembahasan, tentu saja hasilnya tidak valid.

A. Alternatif Bentuk

Selain dengan atribut lengkap, Rating scale sering kali ditemukan hanya dengan dua keterangan, namun tetap berbeda dengan semantik diferensial. Atribut pada Rating Scale jenis Likert berasal dari satu indikator atau butir yang sifanta searah saja.

Contoh kasus ketika ditanya Sangat Suka pada nilai paling tinggi, maka nilai paling renda adalah Sangat Tidak Suka. Hal yang perlu dicatat adalah Kata Sangat Tidak Suka tidak bisa diasosiasikan sebagai sangat benci karena lawan Suka bukanlah benci dalam kasus ini.

Mari kita asumsikan bahwa seseorang ketika ditanya tentang “Apakah mereka suka dengan kopi atau tidak?” Maka kata Sangat Tidak Suka itu bukan berarti benci. Sehingga bentuk Rating Scale lainnya ditulis hanya mewakili atribut paling tinggi dan paling rendah saja.

Sangat Tidak Suka (1) (2) (3) (4) (5) Sangat Suka

Skala ini lebih longgar namun membuat interpretasi responden jadi semakin luas. Terutama pada Responden yang awam dari masalah yang ditanyakan.

B. Persepsi Keliru

Kekeliruan Skala Liker dalam menunjukkan persepsi sesoerang terhadap sebuah objek tidak hanya berasal dari bentuk susunan skala itu sendiri namun bisa juga berasal dari subjektifitas responden. Kekeliruan (misleading) informasi ini muncul karena masing-masing orang punya makna yang berbeda terkait derajat masing-masing tingkatan.

Persepsi atas Persepsi

Saya sendiri pernah bertanya di dalam kelas menggunakan pertanyaan sederhana. Bentuk pertanyaan yang saya ajukan adalah:

  1. Seberapa suka anda makan bakso?
    1. Sangat Tidak Suka
    2. Tidak Suka
    3. Suka
    4. Sangat Suka

Jawabannya dari pertanyaan tersebut selanjutnya saya kelompokkan berdasarkan pilihannya. Lalu saya fokus ke kelompok dengan jawaban “suka (skala 3)”. Dari kelompok ini saya rambang sebanyak 3 orang, dengan tujuan ingin mengetahui deskrispi dari “suka”.

Deskripsi kata suka ini ditrasnformasi ke dalam skala interval dalam bentuk frekuensi makan bakso dalam dalam kurung satu bulan terkahir ini. Hasilnya ternyata menunjukkan hal yang sangat kontras antara satu responden dengan respodend lainnya. Hasilnya sebagai berikut:

RespondenFrekuensi Makan Bakso
ASetiap Hari Makan
B2 Kali Satu Pekan
CTidak Pernah

Hasil wawancara sederhana mengenai kata “suka” dari masing-masing responden berbeda meskipun diatas kertas hasilnya berada pada kategori “suka (skala 3)”. Perbedaan ini muncul karena frekuensi makan bakso dari masing-masing responden berbeda.

Responden A selalu makan setiap hari, sedangkan Responden B makan paling banyak 2 kali sepekan. Responden C adalah responden dengan hasil yang paling menonjol dimana dalam satu bulan terakhir sama sekali tidak pernah makan bakso.

Masalah baru muncul di mana Responden C, ternyata memiliki kebebasan untuk menetukan makan bakso atau tidak karena harga bakso yang terjangkau dan lokasi dengan tempat tinggal yang dekat. Namun Responden C memilih untuk makan makanan jenis lain dibandingkan Bakso dalam kurung waktu 1 bulan terakhir.

Asumsi yang digunakan Responden C memilih “suka” karena Responden merasa pernah sangat suka makan Bakso, namun saat ini sudah tidak lagi. Hal ini tentu saja berbeda dari butir instrumen yang diajukan. Sehingga meskipun saat ini ada kecenderungan Responden tidak makan bakso, namun Presepsi Responden ada pada kategori “suka” makan Bakso.

Dengan demikian, “angka 3” dari respon suka untuk responden A, B dan C tidaklah identik sehingga berat rasanya untuk memasukkan dalam satu kelompok yang sama. Jika dikelompokkan dalam satu kelompok saja rasanya berat, apalagi jika angka 3 ini dijumlahkan layaknya skala interval sebagaimana kebanyakan skripsi dan penelitian pendidikan yang menjumlahkan Skala Likert dalam penelitian mereka.

Ahmad Dahlan God does not play dice with the Cosmos.

Format dan Sistematika Penelitian Eksperimen dalam Bidang Psikologi dan Pendidikan

Sistematika Penelitian eksperimen dalam pendidikan adalah metode penelitian yang digunakan untuk menguji hipotesis atau teori tertentu dalam konteks pendidikan. Dalam penelitian eksperimen, para peneliti...
Ahmad Dahlan
10 min read

Tinggalkan Balasan