Pemahaman secara sederhana diartikan sebagai kemampuan menangkap ide, gambaran atau deskripsi dari sebuah objek yang sedang dikaji atau dipelajari. Konsep sendiri adalah abstraksi dari sebuah ide, gagasan, atau deskripsi dari sebuah objek. Defenisi pemahaman konsep dari defenisi masih sulit untuk diamati secara operasional. Khususnya terkiat dalam pembelajaran karena kemampuan menangkap Ide sifatnya abstrak dan hanya bisa disadari oleh pelaku saja, dalam hal ini peserta didik.
Tingkatan Pemahaman Konsep
A. Domain Pemahaman Bloom
Bloom (1956) mendefenisikan pemahaman konsep sebagai kompetensi kognitif meliputi keterampilan mengubah informasi dari satu bentuk ke bentuk lain masilnya dari simbol (translasi), memberikan penjelasan (interpretasi) dan memperkirakan atau memberikan makna yang lebih luas dari informasi yang diberikan (ekstrapolasi). Kompetensi dikategorikan pada domain kognitif level 2 (C2) dari 6 tingkatan kemampuan berfikir (Kognitif) peserta didik. Berdasarkan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Tingkat Pemahaman Konsep Bloom dapat diindikasi dalam bentuk (1) Translasi, (2) interpresi, dan (3) interpretasi
1. Translasi
Translasi adalah kompetensi mengubah cara menyajikan informasi dari satu bentuk informasi ke bentuk lain tanpa merubah maksud dan maknanya. Perubahan bentuk informasi seperti memberikan deskripsi terhadap simbol, gambar, bagan ataupun grafik. Perubahan bentuk deskripsi ke deskripsi lain (Paraphrase) dengan arti yang sama juga masuk dalam bentuk translasi.
2. Interpretasi
Interpretasi merupakan sebuah proses pemberian penjelasan merinci dalam bentuk pendapat, ide, gagasan ataupun pandangan secara teoretis mengenai sebuah fenomenan atau objek. Aspek ini mencakup kemampuan menunjukkan ide yang sifatnya tersirat dari informasi-informasi yang ada. Hal ini yang membedakan interpretasi dengan Transalasi dimana transalasi hanya merubah cara menyampaikan informasi sedangkan interpretasi mampu menjelaskan informasi tersirat.
3. Ekstrapolasi
Ekstrapolasi merupakan indikator dari pemahaman konsep berupa kompetensi memprediksikan informasi dan data yang hilang berdasarkan trend data yang ada. Keterampilan ini lebih ke arah mampu memahami pola-pola informasi sehingga mampu menarik hubungan linier dari informasi yang ada. Beberapa data mungkin saja memiliki hubungan yang lebih kompleks dari hubungan linier, namun Ekstrapolasi terpusat pada pola-pola data linier.
B. Revisi Pemahaman Konsep Anderson
Anderosn & Krathwohl (2001) melakukan revisi dari Taksonomi Bloom terkait dimensi dari domain-domain hasil belajar. Pada Domain Kognitif, Dimensi proses kognitif tidak hanya ditentukan berdasarkan level tapi juga dimensi pengetahuan. Taksonomi ini disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut
Mengingat (C1)
Memahami (C2)
Mengaplikasikan (C3)
Menganalisis (C4)
Mengevaluasi (C5)
Menncipta (C6)
Faktual
C1F
C2F
C3F
C4F
C5F
C6F
Konseptual
C1C
C2C
C3C
C4C
C5C
C6C
Prosedural
C1P
C2P
C3P
C4P
C5P
C6P
Metakognisi
C1MK
C2MK
C3MK
C4MK
C5MK
C6MK
Dimensi Proses Koginitif Memahami dibagi ke dalam 7 kategori yakni
menafsirkan (interpreting)
memberikan contoh (exemplifying)
mengklasifikasikan (classifying)
meringkas (summarizing)
menarik inferensi (inferring)
membandingkan (comparing)
menjelaskan (explaining).
Tabel 1. Dimensi Proses Kognitif Menurut Anderson & Krathwohl (2001)
No
Kategori
Nama lain
Definisi
1
Menafsirkan (interpreting)
Mengklasifikasi
Mengubah satu bentuk gambar menjadi bentuk yang lain
Memparafrasekan
Merepresentasi
menerjemahkan
2
Mencontohkan (exemplifying)
Mengilustrasikan
Menemukan contoh atau ilustrasi tentang konsep atau prinsip
Memberi contoh
3
Mengklasifikasikan(classifying)
Mengkategorikan
Menentukan sesuatu dalam satu kategori
Mengelompokkan
4
Merangkum (summarising)
Mengabstraksi
Mengabstraksikan tema umum atau point-point pokok.
menggeneralisasi
5
Menyimpulkan (inferring)
Menyarikan
Membuat kesimpulan yang logis dari informasi yang diterima
Mengekstrapolasi
Menginterpolasi
Memprediksi
6
Membandingkan (comparing)
Mengontraskan
Menentukan hubungan antara dua ide, dua objek dan semacamnya.
Memetakan
Mencocokkan
7
Menjelaskan (explaining)
Membuat model
Membuat model sebab akibat dalam sebuah sistem.
Sumber dan Referensi
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.) (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing:A revision of Bloom’s taxonomy of educational Objectives. New York: Longman.
Bloom, Benjamin S., etc. 1956. Taxonomy of Educational Objectives : The Classification of Educational Goals, Handbook I Cognitive Domain. New York : Longmans, Green and Co.
Era digital menghasilkan banyak produk baru. Tidak hanya dari teknologi semata tapi juga istilah dan akornim baru. Misalnya saja Daring, Luring, Netizen, Web 1.0, Web 2.0, dan Web 3.0.
Bagi pengguna awam, Istilah tidaklah begitu penting. Hal yang penting adalah layanan yang diberikan oleh teknologi tersebut. Namun berbeda dengan para digital enthusiast, pelajar dan developer. Istilah adalah hal yang penting dijadikan dasar untuk mendefenisikan dan membedakan satu produk dengan produk yang lainnya.
Artikel ini bertujuan untuk mendefenisikan perbedaan antara Web 1.0, Web 2.0, dan Web 3.0.
Apa itu Website
Website adalah kata yang berasal dari dua istilah yakni web dan site. Web diambil dari jaring-jaring dan site adalah laman yang dapat dikunjungi. Website sendiri berarti sekumpulan laman yang berisi informasi dan saling berhubungan satu sama lain.
Artikal yang sedang anda baca ini adalah laman dari website ahmaddahlan.net. Seluruh website yang dapat diakses disebut sebagai laman, baik itu twitter, facebook, koran tempo, wikipedia bahkan sampai internet banking. Perbedaannya hanya terletak dari jenis layanan dan cara menyajikan informasinya. Perbedaan metode ini yang dijadikan standar dalam mengelompokan web 1.0, web 2.0 dan web 3.0.
Web 1.0
Angka 1.0 ini mengindikasikan generasi pertama dari website. Web 1.0 ini merupakan website yang laman statis yang menyajikan informasi baik berupa huruf, kata, gambar dan video yang dibuat oleh website administrator.
Konsep utama dari webiste ini adalah penyajian data melalui file HTML. File HTML kemudian diupload ke sebuah server lalu disajikan sesuai dengan yang dibuat.
Cara membuatnya cukup sederhana, anda bisa perhatikan code HTML di bawah ini!
Silahkan kopi code tersebut kemudian paste di Notepad. Selanjutnya, simpan dengan extensi file .html misalnya coba.html. Jika sudah selesai, selamat anda baru saja membuat laman website anda. Silahkan buka laman tersebut mengkliknya. Secara otomatis akan terbuka dengan browser default anda.
Pada website 1.0, user hanya bisa meminta dan membaca informasi yang sudah disedikan oleh pengembangan. Dengan demikian kita sebut saja Web 1.0 sebagai Read Only Web.
Mudahnya web 1.0 digunakan untuk merujuk pada generasi awal website yang hanya menyajikan informasi dan interkasi sederhana saja. Ada juga yang mendefenisikan web 1.0 sebagai berikut:
Terdiri dari laman-laman statis yang terkoneksi dengan sistem hyperlinks.
Proses editing website langsung dilakukan pada laman yang dimaksud.
Konten disajikan melalai sistem file dari server secara langsung, bukan dari dari database management system.
website ahmaddahlan.net ini juga punya laman web 1.0 misalnya https://ahmaddahlan.net/ads.txt
Web 2.0
Web 2.0 mengelola dan menyajikan informasi menggunakan database management system. Apa yang dikerjakan tidak langsung disajikan di laman tetapi dikelola oleh database terlebih dahulu baru kemudian disajikan.
Informasi yang ingin disajikan didatabase tidak perlu langsung diopload pada sisi server namun pada laman kerja yang sudah disediakan. Laman kerja ini kemudian diposting lalu sistem akan membuat urutan daftar laman dan tampilan sesuai dengan tema yang sudah disediakan lalu informasi dapat diakses.
Konsep Web 2.0 lebih menekankan pada kemudian pengelolaan konten sehingga tidak perlu pengetahuan tentang server untuk bisa menyajikan konten. Konseo ini mendukung user (non developer) mengupload konten mereka sekalipin mereka awam server tapi sudah paham dengan UI.
Web 1.0 fokus pada tujuan membaca informasi sedangkan Web 2.0 mengizinkan orang lain untuk ikut berpartisipasi dan memberi kontribusi pada website. Konsep ini juga dikenala sebagai User-Generated Content (UGC).
Ciri utama dari UGC adalah pertukaran informasi antar user tanpa perlu melibatkan server administrator secara langsung. Dengan demikian kita sebut saja sebagai “Read and Contribute Website“
Web 2.0 menyajikan layanan komunikasi antar komunitas, kolaborasi, dialog, diskusi dan sosial media. Kebanyakan website yang kita gunakan saat ini adalah web 2.0. Seperti Facebook, WordPress, LMS, Youtube, Wikipedia, Tik Tok, Twitter, dan sejenisnya,.
Web 2.0 juga ditandai dengan perkembangan JavaScript framework yang pesat sehingga memungkinkna komunikasi data antar user melalui sisi front end saja.
Ciri-ciri umum dari Web 2.0 adalah :
Melayani shoritng informasi dan klasifikasi data
Terdiri dari konten dan laman dinamis
Bisa berkerja dengan Application Programming Interface (API)
Mendukung penggunaan pribadi pengguna seperti :
Media Sosial
Internet Banking
Toko Online
Blogging
LMS
Feed dengan RSS
Voting
Kerja Kolaborasi
Diskusi, dll
Web 3.0
Sekarang kita masuk ke Era Web 3.0. Agak sulit juga membuat batasan-batasan yang membedakan antara Web 2.0 dan 3.0. Hal ini mengingat Web 2.0 sudah memiliki layanan sangat besar. Namun mari kita tinjau Bitcoin yang merupakan sebuah sistem yang dibangun desentralistik.
Web 1.0 dan Web 2.0 adalah website yang database-nya dikuasai dan dikelola penuh oleh pengembang server. Facebook, Instagram, Google dan sejenisnya merupakan website yang mengelola informasi dari server masing-masing. Apapun yng dilakukan oleh user akan disimpan di server.
Namun tidak demikian dengan Bitcoin. Bitcoin adalah sebuah sistem dimana informasi dan enksripsi dituliskan oleh seluruh orang yang berkontribusi dalam sistem tersebut kemudian informasi tersebut disimpan dalam bentuk blok-blok yang saling berhubungan.
Konsep blok-blok tersebut disebut block chain. Tidak ada satu orang pun yang dapat mengetahui siapa yang mencatat apa, bahkan pengembang Bitcoin itu sendiri. Dengan demikian informasi utama tidak dikelola dan dimiliki oleh sebuah database tapi oleh banyak database.
Namun defenisi tidak cukup baik.
Sekarang kita mengenal AI (Artificial Intelligence) untuk banyak bidang. AI ini memiliki konsep yang berbeda dengan Web 1.0 dan 2.0. Kedua versi website ini akan persis sama menyajikan data yang sudah tersimpan di server yang terlebih dahulu diupload. Web 3.0 dapat menyajika data yang belum pernah ada pada sistem database mereka.
Labtas dari mana data tersebut?
Data tersebut disusun dan disajikan begitu ada permintaan dari user. Mudahnya kita sebuat dibuat atau digenerate oleh AI. Kecenderungan dan pola generatingnya kita bahas nanti, karena ini berbicara tentang tipe-tipe Algoritma eksekusi data.
Misalkan saja kita sedang membuka Instagram dan mencari foto orang yang sedang di pantai maka foto tersebut akan muncul berdasarkan tag atau meta tag dari foto yang sudah ada. Foto yang tidak ada dalam data base tidak akan pernah bisa disajikan.
Berbeda dengan IA sistem, misalnya Pixar AI akan menggenerate foto berdasarkan kata kunci yang sudah ada berdasarkan pola-pola yang ada pada database mereka sendiri atau seluruh database yang izin aksesnya mereka dapatkan. Dari pola ini kemudian Ai akan membuat kesimpulan sendiri lalu menyajikan Foto baru ke user.
Foto yang disajikan belum pernah ada sama sekali pada database mereka. Foto yang baru saja anda lihat adalah hasil generasi data. Jadi mari kita sebut Web 3.0 sebagai “Read, Write, and Generating web“.
Tim Barner-Lee yang membuat Tag HTML menyebut Web 3.0 sebagai global brain dimana website dianalogikan memiliki sejumlah data besar (Big Data) kemudian mampu mensintesis hal-hal baru data-data yang sudah ada.
Misalnya saja gambar berikut ini
Gambar di atas dibuat sendiri oleh Computer dan sebelumnya tidak pernah ada. Setelah dibuat dan disimpan website ini maka konteksnya sudah berbeda. Web ini (Web 2.0) hanya menyajikan gambar yang sudah ada tersimpan di server lalu disajikan. Web 3.0 membuat gambar itu sendiri.
Tipe-Tipe website 3.0 adalah :
Semantik Web yang dapat membuat output berdasarkan kata kunci (Promt) dan jenis Algoritma yang digunakan untuk mengeksekusi Promt.
Berupa Artificial Intelengence dan Machine Learning dengan konsep kombinasi informasi dengan Natural Language Processing (NLP).
Dapat mengakses metadata atau paling tidak memiliki data set sendiri.
Kesimpulan
Web 1.0
Web 2.0
Web 2.0
Read Only
Read and Contribute
Read, Contribute, Generating and Interacting
Konten dibuat oleh Pengembang
Konten dibuat oleh pengembang dan user
Konten digenerate dari informasi, data, jenis algoritma dan kata kunci
Secara teknis cahaya tidak memiliki massa. Namun hal lain ditunjukkan melalui fenomena efek fotolistrik dimana elektron terluar dari atom logam dianalogi ketika “bertumbukan” oleh foton-foton cahaya.
Dualisme Cahaya
Pada era fisika klasik, era dimana Hukum Newton dan Hukum Maxwell dianggap sudah paripurna menjelaskan semua fenomena fisika yang ada, cahaya (gelombang) dan materi dianggap sebagai entitas yang saling bertolak belakang. Materi dianggap sebagai entintas yang sifatnya disktrit dan memiliki massa sedangkan gelombang memiliki sifat kontinu dan tidak memiliki massa.
Tidak ada satupun entitas yang memiliki kedua sifat tersebut secara bersamaan yakni Gelombang dan Materi. Cahaya sendiri sudah sejak lama diamati sebagai gelombang, kecuali Newton yang menganggap cahaya sebagai Partikel namun pandangan tersebut tidak mewakilkan cahaya sebagai partikel seperti yang dikenal saat ini. Dengan kata lain, Newton keliru dengan pandangan sebagai partikel.
Cahaya sebagai gelombang dianggap Paripurna, paling tidak pandangan dari fisika klasik. Pandangan ini mulai berubah ketika Max Plank memperkenalkan teori kuanta. Plank menjelaskan bahwa radiasi gelombang tidak pancarkan secara kontinu melainkan dalam bentuk paket-paket energi dalam jumlah kecil. Paket energi ini selanjutnya disebut sebagai kuanta.
Setiap jenis radiasi memiliki jenis paket energi yang berbeda, misalnya Boson dan Fermion. Cahaya sendiri memiliki paket energi yang disebut sebagai Foton. Dengan demikian pandangan bahwa Cahaya hanya bersifat kontinu sudah gugur khususnya untuk ukuran elementer yang lebih dikenal sebagai ukuran kuantum.
Efek Fotolistrik
Foton pertama kali dideskripsikan sebagai sifat cahaya sebagai partikel oelh Albert Einstein melalui percobaan Efek Fotolistrik. Percobaan ini diawali oleh Kirchoff lalu disempurnkan oleh Einstein. Hasilnya menunjukkan bahwa Elektron terluar dari Logam yang diterpa cahaya pda frekuensi tertentu akan terlepas dari permukaan logam secara spontan. Fenomena dianalogikan sebagai proses tumbukan dimana elektron akan langsung terlepas begitu diterpa seperti bola billiar yang langsung terhempas begitu ditabrak bola lainnya.
Mengapa gelombang elektromagnetik tidak lagi kontinyu?
Frekuensi radiasi ini unik bergantung dari jenis logam yang diterpa dan dikenal sebagai frekuensi kerja. Jika cahaya bersifat kontinyu, harusnya elektron akan terlepas jika logam disinari oleh radiasi GEM berapun frekuensi-nya. Jika energi dari frekuensi GEM kurang maka akan tersimpan dan suatu saat akan terlepas namun kenyataan tidak. Jika frekuensi yang diberikan lebih rendah dari frekuensi kerja, elektron tidak akan pernah terlepas dari permukaan loga.
Hasil ini dijelaskan sebagai momentum foton yang nilanya adalah :
P = hf
Dengan demikian meskipun cahaya memiliki momentum, energi tubukan cahaya tidak berasal dari massa. Sifat alami dari cahaya sebagai GEM membuatnya tidak memiliki massa. Moentum ini hanya didapatkan ketika cahaya bergerak sehingga disebut juga sebagai massa bergerak, kendati demikian ini bukanlah massa yang sama dengan materi.
Defenisi dari Dualisme Cahaya ini hanya karakteristik cahaya yang berperilaku sebagai Materi dan Gelombang. Bukan benar-benar cahaya adalah Partikel dan memiliki momentum sebagai Hukum Newton tentang gerak menjelaskan momentum.
Gravitasi Umum
Jika tidak punya massa? mengapa Cahaya tidak bisa keluar dari lubang hitam? Apakah karena lubang hitam memiliki kekuatan gravitasi yang sangat kuat? Jika cahaya tidak memiliki massa, lantas mengapa cahaya dapat ditarik oleh Lubang hitam?
Cahaya tidak pernah tertarik ke lubang hitam. Sebagai gelombang, cahaya bergerak lurus berdasarkan raung yang ia lalui. Cahaya tidak benar-benar ditarik gravitasi.
Fenomena disebut kelengkungan ruang karena gravitasi. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Albert Einstein lagi dimana Gravitasi membentuk ruang (Spase) dan dibuktikan oleh Arthur Eddington melalui pengamatan Gerhana Matahari di Principe, Afrika. Hasl pengamatan menunjukkan bahwa posisi bintang berubah karena foto-foto letak bintang berpindah dari satu foto dengan foto gravitasi sebelumnya.
Ada kesimpulan yang dihasilkan yakni
Alam semesta ini berkembang, sehingga teori steady stay Newton runtuh.
Einstein benar jika Gravitasi mempengaruhi ruang disekitarnya.
Gambar tersebut menunjukkan ilustrasi bintang yang posisinya harusnya tidak bisa diamati pada peristiwa gerhana matahari di Principe, namun kenyatannya bisa diamati. Hasil ini mengantar pada kesimpulan bahwa lintasan cahaya ini berubah karena ruang di sekitar matahari berubah akibat gravitasi matahari itu sendiri. Fenomena ini disebut kelengkungan ruang, namun tidak sesederhana besi lurus yang dilengkungkan.
Jadi tidak mesti Black Hole.
Black Hole adalah lubang hitam tidaklah benar-benar hitam tapi bintang raksasa yang mati dan memiliki gaya gravitasi yang sangat besar. Semakin besar gravitasi maka semakin besar pula kelengkungannya yang dihasilkan. Semakin besar kelengkungan samakin jauh cahaya menyimpan dari lintasan yang harusnya dilalui, relatif terhadap pengamat.
Lubang hitam memiliki gravitasi yang sangat kuat atau kita sebut saja maha kuat. Kekuatannya gravitasi membuat kelengkuangan ruang yang sangat besar disekitarnya. Hal ini membuat lintasan cahaya berubah sangat jauh. Jika gravitasi cukup kuat untuk membuat singularitas ruang dan waktu, maka cahaya akan terlihat terperangkap di daerah lubang hitam. Namun, cahaya tidak benar-benar tertarik seperti gravitasi bumi menarik apel Newton.
Catatan : Apakah Agama membutuhkan Logika Manusia adalah Salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan dan membuat saya agak gatal untuk menjawab.
Dalam kepercayaan saya Agama tidak membutuhkan logika namun manusia membutuhkan logika untuk beragama.
Saya pikir ini adalah jawab yang sifatnya terlalu subjetif untuk dijadikan referensi karena kita mungkin saja memiliki agama yang berbeda. Tidak hanya itu bisa saja kita memiliki agama yang sama namun pada cabang yang berbeda.
Jadi mari kita coba jawab dengan jawaban yang agak berbeda.
Logika dan Agama
Dalam kajian filsafat Pengetahuan digambarkan sebaga pohon ilmu pengetahuan. Pohon ini memiliki 4 subtansi utama yakni (1) Kenyataan, (2) Keyakinan, (3) Kebenaran dan (4) Pengetahuan.
Kenyataan atau fakta adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh benar. Levelnya hanya pada dapat ditangkap oleh indra. Misalnya saja
Pedagang yang jualan habis
Suhu malam hari yang dingin
matahari terbit dari timur
Subtansi ini kadang tidak benar-benar nyata. Misalnya saja fakta nomor 3 yang menunjukkan matahari terbit dari timur. Indra kita melihat kejadian ini sehari-hari padahal bumi lah yang mengelilingi matahari setiap detiknya.
Dibutuhkan lebih dari sekedar pengamatan saja untuk mengetahui hal ini sehingga fakta saja tidak cukup.
Kepercayaan adalah subtansi yang melibatkan indra dan juga rasional seseorang namun pada umumnya tidak membuthkan sesuatu untuk dibuktikan. Misalnya anda yakin bahwa Ibu yang merawat anda adalah ibu kandung anda tanpa membuktikan melalui metode-metode kompleks
Anda yakin akan cinta kekasih ada hanya dari beberapa perlakuan yang diberikan. Dalam sains kita juga menyederhakan kasus dimana 1 + 1 = 2. Semua anak SD yang paham proses perhitungan dasar akan sama-sama percaya bahwa 1+1 = 2, tanpa pernah membuktikan dengan berbagai metode 1 + 1 = 2 atau tanpa paham aksioma yang digunakan. Padahal ada aksioma yang digunakan untuk membenarkan 1 + 1 = 2. Karena bisa jadi 1 + 1 = 10 jika aksioma yang digunakan adalah Biner 8 Bit.
Aristoteles yakin bahwa bahwa sebuah batu akan tetap diam dan tidak akan bergerak selama tidak ada gaya yang bekerja pada batu tersebut. Hal ini adalah keyakinan Aristotels. Padahal Newton menemukan bahwa ada gaya yag bekerja pad asebuah benda sehingga benda tersebut diam.
Kebenaran dan Pengetahuan jauh lebih komplek dari ini dan bahkan bisa dilakukan pembuktian atas seluruh objek yang sedang dikaji. Pada dua subtansi ini dibutuhkan lebih dari sekedar kepercayaan tapi juga logika. Logika bukan satu-satunya syarat untuk berada pada subtansi Kebenaran dan Pengetahuan tapi logika menjadi syarat mutlak.
Apa itu Logika?
Ada banyak defenisi dari Logika namun saya paling suka dengan defenisi adalah suatu metode rasional yang digunakan dalam menarik kesimpulan berdasarkan pernyataan dan premis-premis yang ada. Semua kesimpulan dianggap benar jika tidak bertentangan dengan premis dan kesimpulan yang ada. Premis ini bisa jadi buah pemikiran namun pada umumnya ditarik dari data yang sifat faktual.
Kesalan kesimpulan bisa saja terjadi sekalipun metode pengambilan kesimpulan sudah benar. Hal ini disebabkan kurangnya data sehingga premis yang digunakna prematur. Kesalaha kesimpulan ini bukanlah kesalahan logika tapi kesalah data.
Misalnya saja
orang yang kerja itu punya uang
orang yang punya uang itu kaya
Budi adalah orang bekerja
Berdasarkan premis ini kesimpulannya jelas “budi adalah orang kaya”. Namun bisa jadi Budi bukanlah orang kaya karena bisa jadi ada premis yang bukan fakta. Misalnya saja orang yang punya uang itu kaya, harusnya orang kaya itu punya uang.
Kesalah lain bisa saja muncul karena kurangnya fakta yang diambil bisa tidak ada informasi tentang pekerjaan yang dilakukan oleh Budi atapun standar jumlah yang seseorang agar dikatakan kaya. Dalam kasus ini kebenaran butuh lebih sekedar dari Logika saja tapi juga data empirik yang memadai.
Agama dan Kepercayaan
Baik mari kita kembali ke Agama yang erat kaitanya dengan sosok yang maha segalanya di baliknya. Sebuat saja Tuhan. Tuhan ada sosok maha segalanya ini bahkan tidak bisa dilihat oleh Indera. Tidak ada satupun yang pernah melihat sosok tuhan yang dimaksud, apalagi membutiknya secara saintifik.
Sehingga Agama dan Kasus ini subtansi ketuhanan hanya akan diterima dalam bentuk Kepercayaan. Akan selalu ada perdebatan tentang tanda-tanda kehdariian tuhan melalui kisah-kisah di masa lampau atau kejadian di masa yang termaktub dalam Kitab Suci namun hal ini hanya akan diterima oleh sebagian orang yang mempercayai-nya saja. Tidak demikian dengan orang lain yang tidak percaya.
Berbeda dengan Gravitasi yang sekalipun disepakati bersama bahwa gravitasi tidak ada maka setiap orang yang loncat dari menara eifel akan tertarik kebawa dan kemungkinan besar berakhir pada kematian. Kebenaran dan Pengetahuan sifatnya lebih objektif. Dua hal ini adalah produk dari rasional ditambah aspek lain seperti empirik, saintifik dan masih banyak lagi.
Apakah Agama Butuh Logika Manusia?
Sepertinya tidak. Doktrin paling tinggi dalam banyak agama ada pada level Keimanan yang berarti Percaya. Misalnya pada Islam, ada 6 Doktrin yang tidak bisa dibuktikan oleh manusia yang disebut rukun Iman. Dari 6 Rukun iman tersebut hanya satu yang dapat ditangkap oleh Indera. Dengan demikian akan tidak butuh logika manusia.
Hanya saja ini bukan jawaban final. Saya ingin kembali Stefen Hawking bapak dari teori of everything yang menejlaskan tentang asal-usul alam semesta. Hawking menjelaskan bahwa alam semesta ada dari ketidakadaan dimana alam semesta menciptakan diri sendirinya. (Butuh tambahan Fisika Kuantum dengan segentong besar kemampuan matematika kompleks untuk memahami ini karena ini lebih dari sekedar defenisi sederhana Qun faya Qun)
Sederhananya Hawking menganggap bahwa Hukum Kekekalan energi berlaku dan sifatnya dimana energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat musnahkan. Setiap energi yang ada di alam semesta ini seperti Energi dan Massa (disebut energi positif) memiliki konsekuensi Energi Negatif yang jika dijumlahkan hasilnya adalah 0 karena tunduk pada hukum Kekekalan Energi. Pengamatan tentang God Particle memperkuat teori ini sehingga Hawking percaya tidak ada tuhan di atas sana atau dimana saja.
Hanya ada satu pertanyaan mendasar yang tidak bisa dijawab dari teori ini. Jika Alam semesta ini menciptakan diri sendirinya dan dimulai dari partikel kuantum paling sederhana. Pertanyaan yang muncul adalah “manakah yang lebih dulu muncul, Partikel Kuantum (fenomena kuantum) atau hukum-hukum kuantum yang mengatur fenomena tersebut?” Aneh rasanya kalau menjawabnya dengan muncul bersamaan karena pernyataan ini akan memicu lebih banyak pertanyaan lain.
Jawaban dari pertanyaan ini tidak akan muncul pada level Kebenaran dan Pengetahuan karena memang belum bisa dibuktikan. Meskipun belum ada jawabannya, semua saintis memiliki keyakinan bahwa pertanyaan ini punya jawaban.
Dedengan demikian kesimpulan sementara “Bukan berarti karena tidak bisa dibuktikan dengan metode kompleks yang saintifik makan objek tersebut tidak ada”.
Ada satu jawaban tendesius yang paling sederhana untuk menjawab pertanyaan ini adalah “Jika tuhan menciptakan segalanya dengan ucapan Kun Faya Kun artinya tuhan punya kemampuan yang tak terhingga. Dengan demikian sangat sulit untuk mendefenisikan tak terhingga, terkadang kita hanya mampu memahami tanpa mengetahui seperti paradoks Hotel Hilberg”
Kesimpulannya semua yang terdefenisikan itu, didefenisikan tidak mewakili tuhan. Karena defenisi itu adalah pembatasan mengenai defenisi sesuatu sedangkan tuhan sendiri tidak terbatas.
Kesimpulan ini juga mendukung bahwa Agama Tidak Butuh Logika manusia namun manusia butuh logika untuk agama.
Ilmu berkembang dari pengetahuan dengan dasar-dasar pembenaran (Gambar 1). Implikasi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan adanya hubungan erat antar cabang ilmu, dipertanyakannya nilai-nilai etik dan moral saat intervensi ilmu dalam kegiatan ilmiah dan adanya pengaruh ilmu (positif/negatif) pada kehidupan.
Tanggung jawab ilmuwan
Ilmu pengetahuan membawa berkah dan nilai kemakmuran bagi manusia tanpa meninggalkan tata nilai, etika, moral dan filosofi. Seorang ilmuwan memiliki kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan analisis dan sintesis untuk mengubah kegiatan non produktif menjadi produktif.
Seorang ilmuwan bertanggung jawab untuk 1). Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (berpikir, melakukan penelitian dan pengembangan; menumbuhkan sikap positif-konstruktif; meningkatkan nilai tambah dan produktivitas; konsisten dengan proses penelaahan keilmuan; menguasai bidang kajian ilmu secara mendalam; mengkaji perkembangan teknologi secara rinci; bersifat terbuka; professional dan mempublikasikan temuannya dan 2). Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menemukan masalah yang sudah/akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan mengkomunikasikannya, menemukan pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggunakan hasil penemuan untuk kepentingan kemanusiaan, mengungkapkan kebenaran dengan segala konsekuensinya dan mengembangkan kebudayaan nasional.
Moral
Seorang ilmuwan hendaknya memiliki moral yang baik sehingga pilihannya ketika memilih pengembangan dan pemilihan alternatif, mengimplementasikan keputusan serta pengawasan dan evaluasi dilakukan atas kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan sesaat. Moral dan etika yang baik perlu ke-pekaan atas rasa bersalah, kepekaan atas rasa malu, kepatuhan pada hukum dan kesadaran diketahui oleh Tuhan. Ilmuwan juga memiliki kewajiban moral untuk memberi contoh (obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, berani mengakui kesalahan) dan mampu menegakkan kebenaran.
Etika
Etika kerja seorang ilmuwan adalah nilai-nilai dan norma-norma (pedoman, aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis) moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai moral (Kode Etik) dan ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk.
Jendela johari merupakan matriks empat sel yang merfeleksikan perwujudan hubungan antara seseorang dengan pihak lain. Empat matriks dalam konsep ini adalah daerah publik; daerah buta; daerah tersembunyi dan daerah yang tidak disadari
Menurut konsep ini, pengungkapan diri (perluasan daerah A) dilakukan dengan pengungkapan diri (penyempitan daerah C), dan menerima umpan balik (penyempitan dae-rah B). Seorang ilmuwan dengan daerah publik (A) yang luas, memiliki konsep diri positif: berkepribadian matang, percaya diri, tidak takut gagal dan siap menghadapi tantangan dan hal ini sangat penting untuk memenuhi ritme kerja ilmuwan yang seharusnya bekerja keras dan cerdas, melakukan analisa dan sintesa, presentasi, publikasi, travel dan tampil di media massa.
Hamlet’s Case
Seorang manusia apalagi ilmuwan, harus memiliki kematangan emosi, mampu berpikir rasional dalam menghadapi berbagai masalah dan mampu mengambil keputusan terbaik walaupun pada kondisi tekanan yang sangat tinggi. Ketidaksiapan mental dalam menghadapi tekanan bisa mengakibatkan kesalahan pada saat harus mengambil suatu keputusan rasional yang akan berdampak fatal jika keputusan itu menyangkut hidup orang banyak.
Kita bisa belajar dari kasus Hamlet (karya Ernest Hemingway yang sangat populer), yang menggambarkan seorang individu yang tidak bisa membuat suatu keputusan. Ketidakmampuan membuat keputusan rasional ini selain karena masalah psikologi, juga karena keterbatasan informasi yang tersedia untuk membuat keputusan. Kasus ini mengajarkan bahwa keputusan yang diambil dalam keadaan tidak menentu, menyebabkan konsekuensi dari terjadinya kesalahan (galat) tidak mampu terpikirkan.
Paradoks dan Dilema
Paradoks atau Lawan Asas merupakan suatu pernyataan yang benar atau sekelompok pernyataan yang mengarah pada kontradiksi atau suatu keadaan yang menentang intuisi sementara dilema merupakan salah satu bentuk paradoks yang terjadi karena suatu fakta bahwa suatu pilihan rasional dari seseorang ternyata menghasilkan keluaran yang rendah mutunya (inferior) bagi pihak yang lainnya.
Tema-tema umum dalam paradoks yang langsung maupun tidak langsung termasuk rujukan diri, ketidakterbatasan, definisi sirkular dan kebingungan dalam level penalaran. Paradoks yang bukan karena kesalahan tersembunyi biasanya terjadi karena pemahaman yang tidak tepat terhadap konteks atau bahasa.
Dalam falsafah moral, paradoks berperanan penting dalam debat-debat mengenai masalah etika. Contoh nyata paradoks adalah konflik diantara pemahaman perasaan ketika harus mencuri (atau korupsi), melawan suatu “keharusan” untuk korupsi guna menafkahi keluarga yang kekurangan.
Emotional spiritual quotient (ESQ)
Manusia yang diinginkan adalah manusia sukses yang mulia. Tapi, banyak orang sukses ternyata tidak mulia sebaliknya, tidak banyak yang mulia tetapi tidak sukses. ESQ merupakan kearifan sosial yang diwujudkan oleh kepandaian dan kematangan jiwa yang mencukupi dan didorong oleh pemahaman spiritual yang mencukupi. ESQ yang merupakan integrasi antara IQ, EQ dan SQ diperlukan untuk menjadi manusia paripurna/insan mulia (Gambar 2). Dalam kubik leadership artikulasi ketiganya diwakili oleh tiga pimpin (keyakinan-aksi-pekerti). Karakter penting untuk manusia pembelajar menjadi insan mulia adalah bertakwa pada Tuhannya, mencintai pekerjaan; berikhtiar; ber-tawakal; bersyukur; bersabar dan istiqomah. Dalam perjalanan menjadi insan yang sukses dan mulia, unsur-unsur positif dikedepankan, dan unsur-unsur negatif dikikis habis.
Gambar 2. Integrasi antara IQ EQ dan SQ terhadap pembentukan manusia
Penemuan ilmiah merupakan suatu keterbaruan (novelty) yang menambah pengetahuan manusia dan berkontribusi pada ekonomi global dan standar hidup manusia, memecahkan masalah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat contohnya melalui kesehatan publik, peningkatan masa hidup dan peningkatan produksi pangan.
Penemuan identik dengan jenius, intelegensia dan motivasi yang kuat. Tapi pada hakekatnya, penemuan adalah hasil dari penerapan logika dan metoda dalam upaya pemecahan masalah, pengembangan cara pandang (insight), menerangkan fakta (analogy-based, bisosiasi atau metaforik). Penemuan ilmiah didapat melalui kerangka kerja dan metoda ilmiah terstruktur walaupun kadang disertai oleh faktor keberuntungan. Proses penemuan diawali dengan kemunculan ide-ide spekulatif, hipotesis kerja yang luas, skema konseptual yang lebar (teori) dan pengujian eksperimental dari teori dengan metode ilmiah. Tahapan kerja dalam suatu metode ilmiah adalah pengembangan hipotesa, pengumpulan data, pengembangan atau perbaikan hipotesa, pengumpulan atau pengujian data lebih lanjut dan pengembangan suatu teori.
Faktor individual yang diperlukan untuk pembentukan suatu ide adalah adanya keterbukaan intelektual dan sensibilitas terhadap masalah; memiliki pengetahuan iptek yang luas; memiliki pengetahuan terapan yang terlatih; memiliki pemikiran yang terbuka dan motivasi untuk keberhasilan; punya kemampuan untuk meyakinkan; memiliki daya nalar kritis, spontanitas yang rasional, dan keterbukaan untuk kerjasama horizontal dan vertikal serta masuk dalam dinamika kelompok.
Organisasi dan penemuan
Faktor-faktor organisasi berperan penting dalam penemuan program-program saintifik karena mempengaruhi kinerja riset, proses penemuan dan alokasi sumberdaya riset. Agar bisa bekerja dengan standar yang baik maka sains harus dilakukan dalam suatu Prosedur Operasi Standar (SOP).
Dalam realitas, penemuan tidak menyebar merata tapi terkonsentrasi di pusat-pusat budaya unggul (Centre of Excellence). Budaya sebagai ’penemu’ biasanya dimiliki oleh negara-negara yang dana risetnya sangat memadai, memiliki kelembagaan ilmiah yang sangat mapan dengan sistem dan manajemen riset sangat baik, lingkungan universitas kreatif – produktif dan didukung oleh kelembagaan filantropis.
Untuk membangun organisasi yang inovatif, beberapa hal harus terpenuhi: memiliki visi, kepemimpinan dan keinginan berinovasi dengan struktur yang tepat (kreativitas tinggi); memiliki personalia kunci (promotor, juara, penjaga gawang dan pemeran lain) yang mendorong inovasi; tim kerja yang efektif (sinergi internal); pengembangan individual yang berkelanjutan (kompetensi dan keterampilan yang efektif); komunikasi ekstensif (ke atas, ke bawah dan sejajar); keterlibatan yang tinggi pada inovasi dan fokus pada pelanggan serta memiliki lingkungan yang kreatif dan organisasi pembelajaran (manajemen pengetahuan). Delapan instrumen pengukuran budaya inovatif yaitu kebutuhan, konfrontatif, kepercayaan, kebenaran/keaslian, proaktif, otonomi, kerjasama dan melakukan pengkajian.
Efektifitas dan efisiensi penelitian berpengaruh pada produktifitas dan prestasi penelitian yang dihasilkan. Bagaimana pentingnya kinerja organisasi terhadap suatu penemuan bisa dilihat dari kerja tim penelitian yang dibentuk Prof. Norman Borlaug yang secara konsisten berupaya mencari varietas gandum unggul untuk mengatasi kekurangan pangan di Meksiko. Program pengembangan pertanian ini disponsori oleh The Rockefeller Foundation. Lalu, peran organisasi terhadap pencapaian bisa dilihat dari upaya ’Bank Desa’ yang didirikan Prof. Muhammad Yunus sehingga mampu menciptakan pembangunan dan perdamaian melalui penciptaan ekonomi yang memberi akses pada perempuan miskin.
Agar suatu penemuan bisa membawa kesejahteraan pada masyarakat, maka budaya penelitian yang dibangun hendaklah berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Seorang peneliti atau lembaga peneliti harus melakukan sinergi internal agar penelitian menjadi fokus, efektif dan efisien. Selanjutnya, setiap lembaga penelitian harus melakukan sinergi eksternal dengan melibatkan universitas dan swasta. Peneliti memiliki ’patokduga’ di tingkat regional (untuk menghadapi kompetisi langsung), pada negara maju (untuk membangun kesadaran iptek), dan pada swasta unggul (untuk membentuk kompetensi inti). Penelitian juga hendaknya mengutamakan pemanfaatan sumberdaya tersedia, berorientasi pada kebutuhan pasar/pengguna, menciptakan nilai tambah yang besar serta konsisten dengan tahapan penelitian, pengembangan, rekayasa proses/mesin dan komersialisasi.
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang ditata sehingga menampilkan pola-pola yang teratur dan berlaku secara umum. Menurut paham empirisme, pengetahuan diperoleh melalui pengamatan atas fakta yang ditemukan di alam; sementara menurut paham rasionalisme, kebenaran pengetahuan hanya dapat ditemukan melalui proses pemikiran atau penalaran.
Proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang berupa ilmu pengetahuan disebut proses bernalar. Penalaran menghasilkan ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan dianggap sahih (valid) jika proses penarikan kesimpulannya dilakukan menurut cara tertentu tersebut yang disebut logika.
Logika dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih. Paham empirisme melakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika induktif, sementara penganut paham rasionalisme melakukan penarikan kesimpulan dengan logika deduktif. Logika induktif digunakan untuk penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan umum. Sedangkan logika deduktif biasanya membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual.
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Misalnya, kita memiliki fakta bahwa harimau, gajah, sapi, kera dan ayam memiliki mata maka kita menarik kesimpulan umum bahwa semua binatang memiliki mata. Pada penalaran dengan logika deduktif, kesimpulan yang ditarik merupakan konsekuensi logis dari fakta-fakta yang mendasarinya sehingga dilakukan penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dengan menggunakan pernyataan yang bersifat umum menggunakan pola pikir silogisme. Silogisme dibentuk oleh dua pernyataan alasan (premis mayor dan premis minor) dan kesimpulan yang ditarik secara logis dari dua premis pendukungnya. Sebagai contoh: jika semua makhluk hidup memiliki mata (premis mayor-umum) dan si Polan adalah makhluk hidup (premis minor) maka si Polan mempunyai mata (kesimpulan). Pertumbuhan, pergantian dan penyerapan teori
Ilmu atau pengetahuan ilmiah dikembangkan dengan menggabungkan pendekatan rasionalis dan pengalaman empiris sehingga suatu pernyataan ilmiah merupakan penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Metode deduksi digunakan untuk menemukan aturan-aturan yang berlaku secara pasti, dengan bersandar pada aksioma yang kebenarannya telah ditentukan sementara metoda induksi digunakan untuk menguji apakah aksioma yang digunakan tersebut dapat terus dipertahankan sehingga bisa dikembangkan lebih lanjut) atau tidak.
Interaksi logika deduksi dan induksi dalam alur berpikir metode ilmiah ditampilkan pada Gambar 1. Suatu penjelasan rasional yang belum teruji kebenarannya secara empiris statusnya masih bersifat hipotesis. Hipotesis disusun secara deduktif menggunakan premis-premis dari ilmu yang sudah diketahui kebenarannya, sebagai dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu masalah.
Proses induksi dilakukan pada tahap verifikasi atau pengujian hipotesis, dimana dilakukan pengumpulan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah hipotesis didukung oleh fakta (dapat dibuktikan) atau tidak. Penggunaan logika deduksi dan induksi secara berkesinambungan inilah yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan, pergantian dan penyerapan suatu teori (ilmu).
Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan hendaknya bukan sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mempelajari hal-hal yang dilakukan untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki kearifan, kebenaran, etika dan estetika.
Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergantian dan penyerapan teori. Kemunculan teori baru yang menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah yang tidak bisa diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh kembangnya teori dan pergeseran paradigma adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu dimana terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori atom, teori pewarisan sifat dan penemuan alam semesta.
Dalam perkembangan ilmu, suatu kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan paradigma baru. Tetapi, yang harus dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai kebenaran.
Perkembangan teori atom
Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6 SM): materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran sangat kecil (atom). Atom merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi, bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom).
Pergeseran paradigma terjadi ketika ternyata dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J. Thomson,1856–1940) dan proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan kismisnya, dimana elektron dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford (1871-1937) disimpulkan bahwa elektron mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang terdiri dari nuklei, dan elektron-elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr yang mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus disempurnakan. Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada. Murray Gell-Mann (1964) mengatakan, proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark.
Perkembangan teori pewarisan sifat
Pemikiran tentang pewarisan sifat sudah ada sejak jaman dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang merupakan bayangan dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya.
Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan apa yang mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan rata-rata dari sifat induknya. Sifat-sifat hereditas kontinyu dan bercampur, anak adalah rata-rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada. Sementara menurut Darwin, keragamanlah yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan mengapa keragaman tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan yang dimasukkan kedalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika gemmule dibentuk dan dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi, perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah. Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan varietas yang berbeda, mulus dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur. Teori inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pengembangan teori pewarisan sifat.
Perkembangan teori tata surya
Prediksi peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi Yunani (4SM) menyatakan bumi pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak mengelinginya dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi landasan awal pengembangan ilmu tentang tata surya.
Seorang ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge). Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu hendak-lah mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan.
Kajian filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental. Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang disodorkannya. Seorang ilmuwan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada mayarakat awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari.
Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau (bibit unggul, pestisida, pupuk kimia) dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimiliki. Tetapi, ketika akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya aplikasi tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita perlu mempertanyakan kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif pemecahan masalahnya? Apakah alternatif yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah? Bagaimana kajian keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari dan dijawab oleh ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu masalah. Sehingga tidak terjadi kasus dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia, lingkungan, sosial ataupun aspek lain dari kehidupan masyarakat.
Rekaman sejarah ilmu merupakan titik awal pengembangan ilmu karena merupakan rekaman akumulasi konsep untuk melihat bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan mitos yang berkembang. Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan mengkonstruksi wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Hal-hal baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya. Dari sejarah juga dapat dilihat bahwa sains bukan hasil penemuan individual.
Sains lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dari rekaman sejarah ilmu bisa diketahui bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam tidak didasarkan pada upaya empiris untuk membuktikan suatu teori atau sistem, tetapi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Sehingga, kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner dan bukan kumulatif.
Pergeseran paradigma adalah istilah untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu kemajuan.
Paradigma dan sains normal
Paradigma merupakan kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun kegiatan ilmiah nyata yang diterima dalam periode tertentu. Saat pertama kali muncul, masih sangat terbatas baik cakupan maupun ketepatannya tetapi menjanjikan suatu keberhasilan. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari saingannya dalam memecahkan masalah keilmuan yang dianggap rawan.
Paradigma membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal sehingga ilmuwan bisa mengembangkan secara rinci dan mendalam, dan tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Pada sains normal, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya. Tiga fokus kajian sains normal adalah memperluas pengetahuan tentang fakta, meningkatkan kesesuaian antara prakiraan paradigma dan artikulasi lebih lanjut untuk memecahkan beberapa keraguan yang tersisa, untuk memperkuat citra sains.
Kegiatan ilmiah ada dua yaitu pemecahan teka-teki (puzzle solving) dan penemuan paradigma baru. Pada sains normal, ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Anomali dan munculnya penemuan baru
Berbagai fenomena (anomali) bisa dijumpai oleh seorang ilmuwan selama menjalankan riset di sains normal. Jika anomali kian menumpuk, akan timbul krisis dan paradigma mulai dipertanyakan yang berarti sang ilmuwan mulai keluar dari sains normal.
Data anomali (penyimpangan terhadap teori-teori dalam paradigma) berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru. Penemuan baru diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni pengakuan bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas ke wilayah anomali dan hanya berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.
Revolusi sains
Revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri karena dalam memilih paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain dimana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal.
Ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas risetnya tidak berguna sama sekali.