AhmadDahlan.NET – Microlearning adalah sebuah metode pembelajran yang didesain dengan topik-topik kecil dengan durasi belajar yang lebih singkat. Jangka pendek tidak berarti konten yang dipelajari sedikit hanya saja proses penyajian dan instruksi lebih singkat namun disajikan dalam banyak program-program kecil.
Pada dasarnya tidak ada defenisi jelas mengenai pengertian Microlearning namun durasi singkat ini relative karena tujuan dari setiap pembelajaran memiliki tujuan melatih dan mengejarkan peserta didik kompetensi. Jadi durasi singkat bukanlah satu-satunya indikator sebuah pembelajaran dapat dikategorikan dalam microlearning.
Daftar Isi
A. Microlearning
Era digital yang dipenuhi dengan teknologi berdampak pada banyak hal dalam kehidupan manusia. Tidak hanya memudahkan komunikasi sebagai ruh dari tekonologi informasi dan komunikasi itu dicipatkan tapi juga berdampak pada seluruh aktifitas manusia. Salah satu dampak yang paling terasa adalah gangguan dimana gadget menjadi salah satu hal yang paling menyita perhatian manusia.
Hal ini berdampak pada sulitnya manusia untuk fokus pada satu hal dalam rentang waktu yang lama. Gadget menyedikan banyak fitur dan fasilitas yang membuat aktivitas selau terhubung denganya, seperti sosial media, game, membaca berita online sampai pada belanja online. Hal ini juga berdampak pada konsentrasi belajar mahasiswa. Bradbury (2016) menemukan bahwa rata-rata mahasiswa hanya mampu konsentrasi 10 sampai 15 menit dalam belajar.
Lebih jauh lagi TEDed Conferences LLC atau lebih dikenal TED menemukan bahwa hanya dibutuhkan waktu 8 detik untuk memecah konsetrasi seseorang. Dampak dari pendeknya durasi manusia berpindah dari satu fokus ke fokus lain membuat manusia menjadi Multitasking. Durasi perpindahan fokus yang pendek ini membuat kapasitas otak manusia dalam memproses ingatan juga ikut berkembang. Hal ini menjadi hal positif yang bisa dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
Apa Itu Microlearning?
Perpindah fokus yang cepat antar topik ini disebbut sebagai Hyperactivity. Hyperactivity ini membuat kebiasaan peserta didik mencari solusi atau jawabn yang paling cepat dari masalah yang sedang dihadapi. Peserta didik akan cenderung mencari informasi dari highlight dan point-point penting lalu berupaya mengkosntruksi pengetahuan baru dari informasi-informasi yang ditemukan tersebut. Hal ini dianggap lebih efektif dibandingkan harus membaca paragfraf demi paragraf atau harus menonton video pembelajarna dengan durasi 45 menit sampai 90 menit.
Jika materi dan bahan ajar disajikan dalam konteks yang panjang, akan menyulitkan peserta didik dalam mencari highligth atau melompati konten yang mungkin saja mereka tidak butuhkan dalam menyelesaikan masalah. Ide ini membuat Microlearning lebih efektif dimana topik yang ada pada bahan ajar dipecah ke dalam banyak sub topik kemudian dideisan untuk satu file dari masing-masing sub topik. Karena berisi topik pendek-pendek maka metode ini disebut sebagai Microlearning.
Perkembangan Microlearning didukung oleh perkembangan teknologi dimana konten-konten pendek (micro-content) dapat dengan mudah disebarkan dan disajikan dalam bentuk file elektronik sebagai konten e-learning. Asumsi paling kuat digunakan dalam mendukung pembelajaran berbasis Microlearning adalah keberadaan gawai yang sudah dimiliki setiap orang paling tidak dalam bentuk smartphone.
Puspasari (2021) dalam artikel yang diterbitkan Katadata.co.id menyatakan bahwa terdapat 163,2 juta pengguna aktif smartphone di Indonesia dengan jumlah peredaran Smartphone lebih dari 300 juta. Dengan demikian sangat besar peluang satu orang di Indonesia memiliki dua Smartphone. Lebih jauh dari itu, orang Indonesia menjadi orang nomor satu di dunia yang menghabiskan waktu rata-rata 5,5 jam dengan smartphone dalam sehari.
Potensi pengguna smartphone ini tentu saja bisa diandalkan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia bukan malah melarang penggunaan Smartphone di isntitusi pendidikan seperti sekolah dan pesantren. Memaksimalkan potensi dan bersinergi dengan smartphone tentu saja jauh lebih baik daripada berupaya mengisolasi diri dari gawai ini.
Long Duration learning vs Microlearning
Long Duration Leraning adalah pembelajaran yang berkebalikan dari Microlearning dimana peserta didik mengikuti proses pbelajar dengan durasi panjang dan kaku. Misalnya saja pada pelatihan, diklat atau workshop yang menghabiskan waktu 24 JP samapi 960 JP. Pelatihan jangka panjang bertujuan untuk memberikan banyak kompetensi pada peserta didik dengan cara dikompres dalam satu kegiatan padat. Dampak yang paling mudah dirasakan dari peserta pelatihan adalah rasa bosan dna lelah terutama pada pertengan pembelajaran.
Selanjutnya dampak ini membuat peserta kekurangan konsentrasi dalam mempelajari topik yang disampaikan apalagi untuk pelatihan yang sifatnya diwajikab atau penugasan bukan hal yang muncul dari keinginan sendiri. Hasilnya peserta hanya hadir secara fisik di dalam kelas namun berbeda dengan konstruksi pengetahuan yang mereka bangun. Jika diuji maka efektifitas penyerapan materi kemungkinan besar akan menunjukkan hasil yang rendah.
Pembelajaran dan pelatihan panjan ini akan dengan mudah digantikan dengan media-media penyedia bahan ajar micro-content seperti YouTube, Facebook, Tik Tok dan sejenisnya. Misalnya saja, entah sudah berapa banyak resep makanan atau tutorial menginstal komputer yang kita lakukan setelah belajar 5 menit dari YouTube. Hal ini membuat kurusu komputer dasar dan memasak sudah mulai sepi peserta.
Sebagai catatan, platform bukanlah hal yang menggantikan reguler course ini tapi konten-konten dan user experience yang terbentuk selama berada di dalam paltform tersebut. Kata kunci pembelajaran dengan microlearning bukanlah pada jenis platform melainkan pada kualitas konten yang disediakan.
Konsep microlearning sebenarnya bukanlah hal yang baru tapi sudah sering digunakan dalam proses pembelajaran seperti pada pengembangan blended learning. Dalam blended learning pembelajaran dilakukan dari kombinasi instruksi pada kelas tatap muka lalu diikuti dengan dengan microlearning sebagai penguatan dari pembelajaran. Penguatan dalam microlearning diberikan dalam bentuk mini-learning, kursus mikro, infografik, video penjelas, motion grafis dan sejenisnya.
Perkembangan penggunaan microlearning seiring dengan pertumbuhan teknologi. Terutama dengan kemajuan navigasi dalam penggunna gadget. Kemampuan gadget dalam menemukan document, tag, link, dan instan view membuat penggunaan microlearning semakin mudah dilakukan. Hal ini membuat peserta didik dapat mengakses informasi dan bahan ajar kapan saja dan dimana saja ketika mereka merasa siap untuk belajar.
B. Micro-content dalam Microlearning
Munkin saja anda merasa belum pernah belajar dengan Microlaerning di Institusi Pendidikan Formal namun tanpa sadar konten-konten ini sudah banyak tersebar melalui banyak platform media sosial. Salah satu konten microlearning yang paling sering muncul adalah video dari What If yang berisi pertanyaan menarik seputar fenomenan sains.
What if mengemas video-video ulasan fenomena sains dengan konsep menjawab pertanyaan “bagaimana jika”. Contohnya bagaimana Bumi ini tidak bulat? Jawaban yang disampaikan dalam bentuk video cepat dengan visualisasi konsep yang tidak menunjukkan ilustrasi asli namun cukup untuk membuat pemirsa berfikir mengenai kejadian tersebut.
Hal yang penting dari Video yang disajikan What IF adalah durasi video yang pendek dengan intonasi dan pemilihan gambar yang menarik. Hal ini yang meningkatkan lama engagement time pemirsa menyaksikan video. Seperti salah satu video What If dengan judul Bagaiman jika Bumu Berhenti Berputar 5 menit saja.
Berikut ini beberapa contoh mengenap jenis-jenis media microlearning.
1. Video
85 pengguna Internet di dunia pasti menonton video baik itu melalui platform YouTube, Streaming Online, Netflix dan sejenisnya. Namun tidak semua dari video tersebut masuk dalam Microlearning. Video Microlearning biasanya disajikan dalam dua bentuk yakni Video Explainer seperti yang dicontohkan What If di atas atau dalam bentuk Motion Graphics.
Microlearning video biasanya adalah video cepat dan disajikan dengan bahasa sederhana. Beberapa scene kemugnkinan terdiri dari gambar yang diberikan penjelasan. Video dirancang menghibur namun tetap berdampak terhadap pengetahuan peserta didik. Peserta didik tetap fokus dengan durasi video pendek dan ukurannya juga kecil sehingga bisa dibagikan dengan mudah ke teman kelas.
2. Aplikasi
Aplikasi yang dimaksud dalam media microlearning adalah aplikasi pembelajaran yang berisi micro-conten pembelajaran dan dilengkapi dengan fasilitas navigasi yang memudahkan peserta didik belajar. Konsep pembelajaran yang diterapkan dalam aplikasi dalam bentuk instruksi untuk mengerjakan, membaca dan menyelesaikan tugas-tugas yang ada kaitannya dengan topik yang dipelajari.
3. Gamifikasi
Gamifikasi adalah microlearning yang serupa dengan Aplikasi pembelajaran hanya saja tujuan-tujuan pemeblajran disamarkan dalam misi-misi yang menyerupai game. Score yang didapatkan peserta didik lebih bersifat pencapaian yang kadang tidak berasal dari aturan penskoran yang baku sesuai dengan theory pengukuran.
Tujaun dari Gamifikasi ini meningkatkan motivasi dan jumlah aktivitas pembelajaran peserta didik dengan metide lebih menyenangkan. Contoh dari Gamifikasi ini seperti menjawab soal dalam bentuk quiz yang setiap jawaban yang benar bisa saja berbeda hasilnya dengan orang meskipun hasilnya sama.
4. Infografik
Infografik adalah media dua dimensi yang berisi informasi yang dituangkan dalam bentuk grafik, gambar dan kata. Kata disusun sedemikian rupa dengan menitikan beratkan informasi dan estetika dari media yang dihasilkan.
5. Sosial Media
Sosial media juga bisa masuk dalam microlearning. Mengapa ini penting untuk diperhatikan, hal ini karena pengguna internet juga menghabiskan waktu yang lama di sosial media. Sosial media seperti facebook, twitter, instagram dan tik tok bisa menjadi alternatif dalam pembelajaran.
Hanya saja microlearning tidak terikat pada paltformnya melainkan konten yang disajikan didalamnya. Setiap sosial media memilki karakteristik masing-masing sehingga konten microleanring yang disajikan harus sesaui dengan karakteristik platform sosial media itu sendiri.
Misalnya Instagram sangat handal dengan konten gambarnya sehingga micro-content yang sesuai adalah Typography dan Infografik, sedangkan Tik Tok lebih unggul pada video dengan durasi pendek, maka platfrom ini cocok dengan Micro-content jenis Video Explainer atau Motion Graphics.
Daftar Pustaka
Neil A. Bradbury (2016). Attention span during lectures: 8 seconds, 10 minutes, or more?. Adv Physiol Educ 40: 509–513, 2016; doi:10.1152/advan.00109.2016.